Senin, 26 Januari 2015

Kedermawanan Hati Sang Fakir


Tahun 9 Hijriah mulai memasuki musim panasnya. Jazirah Arab bermandikan debu dan panas mentari. Seperti biasa. Tapi, kali ini nampak sebuah pemandangan yang agak berbeda. Itu Rasulullah! Sedang apa beliau?


         Ternyata beliau sedang mengumumkan kepada semua khalayak bahwa jihad ke negeri Romawi akan dihelat. Memang tak biasanya Rasul mengumumkan jihad seorang diri, karena biasanya beliau akan menyuruh utusan untuk mengumumkannya kepada kaum muslimin. Ada apa gerangan?
Kali ini musuh yang akan dihadapi sangatlah berbeda. Mereka adalah tentara Multinasional, gabungan prajurit terlatih Romawi dan kabilah-kabilah Arab bawahannya. Ditambah lagi, saat itu Madinah tengah dilanda musim panas dengan udara yang sangat kering. Karena itulah beliau mengumumkan jihad kali ini seorang diri, tanpa melalui perantara.
Panggilan jihad diserukan ke pelosok Madinah dan tempat-tempat sekitar. Kaum muslimin pun satu persatu berdatangan menyambut panggilan mulia itu. Kendati panas menyengat dan buah kurma di kebun telah ranum siap untuk dipanen, tak menyurutkan langkah mereka mendaftarkan diri sebagai calon prajurit. Meninggalkan rumah dan kebun kurma mereka yang teduh, untuk bergelut di padang pasir panas nan tandus.
 Yang tua, yang muda, si kaya, si miskin, semua datang dengan sumbangsih masing-masing yang mereka miliki. Ada yang datang dengan membawa berkarung-karung kurma sebagai stok logistik pasukan ketika berjuang, ada yang datang membawa uang, ada juga yang hanya bisa menyumbangkan secakup kurma yang ia bawa dari hasil kebunnya. Dan itulah yang ia mampu. Kendati orang-orang munafik saling mengejeknya, pantang baginya membatalkan niatan sedekah yang ikhlas bagi mujahid fi sabilillah hanya lantaran ejekan mereka.
Lain lagi dengan para ashabu ash-shuffah. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak memiliki tempat tinggal. Jangankan tempat tinggal, makanan pun mereka harus dijatah dari Baitul Mal dan sedekah pemberian kaum muslimin. Walau keadaan mereka serba kekurangan, gelora semangat jihad di tanah Romawi sangat memuncak dari dasar perasaan mereka. Namun, sumbangsih apakah yang dapat mereka berikan kepada kaum muslimin yang sekarang tengah tenggelam dalam hiruk-pikuk persiapan? Satu orang dari mereka memberanikan diri untuk mendaftarkan diri kepada Rasulullah.
*****
 Ulbah bin Zaid menghampiri Rasulullah yang tengah sibuk menyiapkan pasukan dan menerima sedekah bagi para mujahid yang akan diberangkatkan. Ulbah memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah, atau lebih tepatnya meminta agar dirinya dan teman-teman ashabu ash-shuffah diikutsertakan dalam jihad ke negeri Romawi kali ini. Rasulullah terdiam sejenak. Rasul tahu semangat sahabatnya itu untuk ikut berjihad bersama kaum muslimin yang lain. Tapi, keadaan belum memungkinkan untuk membawa mereka. “Apakah engkau memiliki kendaraan?” tanya beliau kepada Ulbah. “Tidak,” jawabnya. Rasul juga telah memeriksa, ternyata tidak ada lagi tumpangan ke sana.  Dengan berat hati Nabi menjelaskan kepada Ulbah, “Wahai Ulbah, sesungguhnya kami belum bisa membawamu berjihad kali ini, karena kami tidak memiliki tumpangan untuk membawamu.”
Hancur hati Ulbah mendengar penuturan dari Rasulullah tadi. Pedih. Tapi apa mau dikata, memang keadaannya begitu. Ia hanyalah seorang miskin, bahkan sangat miskin sehingga untuk makan pun harus mengandalkan bantuan dari orang lain. Bagaimana pula ia bisa mencari tunggangan yang bisa membawanya ke Romawi?! Uang, ia sama sekali tak punya.
Ulbah menahan butiran hangat dari sudut kelopak matanya agar tak tarjatuh. Ia meninggalkan Rasulullah menuju peraduannya, di teras Masjid Nabawi. Ternyata Ulbah tak kuasa menahan tetesan air matanya yang saat ini telah berderai. Siapa yang akan ia salahkan? Sementara ini dirinya hanya bisa terdiam merenungi nasib sebagai orang yang kekurangan. Meratapi nasibnya karena tak bisa berbuat seperti kaum muslimin yang lain. Mengapa orang lain bisa berinfak, sedangkan aku tidak?!
*****
Malam kian dingin. Suasana kota Madinah sejenak lengang setelah shalat Isya’ menemani orang-orang pergi, ke peraduan merebahkan badan. Sementara itu, di emperan Masjid Nabawi seorang berpakaian lusuh tengah terduduk lesu. Pikirannya jauh menerawang, mengamati keadaannya saat ini. Dalam kepapaan dan hampir tenggelam dalam keputusasaan.
Ternyata kejadian tadi pagi masih melekat kuat dalam pikirannya. Berkelebat bayang-bayang Rasulullah yang amat sangat terpaksa menolaknya karena kendaraan sudah tak tersedia. “Kasihan kau, Ulbah. Sudah tak punya, kau pun tak bisa berjihad melawan musuh-Nya!” gumamnya dalam hati. Ia pun ingat, Ulbah masih punya Rabb! Allah Yang Mahamendengar segala keluhan yang diadukan oleh hamba-Nya. Ia pun mengumpulkan segenap kekuatannya untuk bangkit mengambil air wudhu guna mengadukan segala yang ia lalui dalam munajatnya nanti malam, ketika semua orang terlelap.
Kini sosok itu telah hanyut dalam hening munajatnya. Khusyuk.
*****
 Semburat wajah penuh harap dan belas kasih dari Penciptanya. Segala keluh kesah ia tumpahkan dalam munajat kali itu. “Ya Allah, Engkau telah memerintahkan para hamba-Mu untuk berjihad dan berinfak. Namun Engkau tidak memberikan kepadaku harta dan kendaraan yang bisa mengantarkanku ke medan jihad. Ya Allah, malam persaksikanlah, bahwa semua kezaliman yang pernah manusia lakukan kepadaku aku telah ikhlaskan dan kusedekahkan hal itu bagi mereka yang tengah bersiap menuju medan perang esok.”
Terasa sedikit lega hati Ulbah setelah meluapkan emosi yang sempat tertahankan untuk beberapa saat. Kini setidaknya ia bisa istirahat sejenak menunggu waktu fajar. Udara dingin musim kering kota Madinah tak dirasakannya lagi. Semua berganti menjadi hawa hangat yang mengaliri sekujur tubuhnya.
*****
“Allahu Akbar....! Allahu Akbar.....!”
Suara adzan fajar mengetuk telinga Ulbah. Tak terasa semalaman ia mengadukan semuanya kepada Allah Yang Mahamendengar. Tersadar sejenak, kemudian ia mulai menunaikan shalat bersama Rasulullah dan kaum muslimin yang lain.
Tak seperti biasanya, seusai shalat berjamaah Ulbah keheranan. Para sahabat yang lain juga demikian. “Ada apakah gerangan, Rasulullah langsung membalikkan badan dan bertanya kepada jamaah? Perihal apakah itu?” tentu hal yang sangat penting. “Siapakah yang bersedekah tadi malam?” tiba-tiba pertanyaan Rasulullah menyeruak dalam keheningan hadirin. Namun sama sekali tidak ada yang merasa bahwa tadi malam ada yang bersedekah. Rasul mengulanginya lagi, “Siapakah yang telah bersedekah tadi malam?” Kali ini juga tak satu pun dari sahabat yang mengaku. Kasak-kusuk di belakang mulai terjadi. Menebak-nebak siapakah yang telah bersedekah dalam diam-diam. Dan untuk terakhir kalinya Rasulullah mengulangi pertanyaan itu, “Siapakah yang tadi malam telah bersedekah?” Maka Ulbah dengan agak ragu-ragu berdiri dan menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Nampak rona kebahagiaan membuncah dari wajah baginda Rasulullah. Beliau berkata kepada Ulbah, “Berbahagialah wahai Ulbah, sesungguhnya sedekahmu tadi malam telah dicatat oleh Allah sebagai sedekah yang diterima!”
Betapa sangat bahagianya seorang Ulbah bin Zaid mendengar berita itu dari Rasulullah. Ia pun tak menyangka bahwa Allah akan menerima sedekah itu begitu cepat. Namun Ulbah berkali-kali mencoba meyakinkan dirinya tentang kebenaran yang telah disampaikan oleh Nabi tadi.  ……………………………..????



Jumat, 06 Desember 2013

Fikih dan Adab Meminjam Barang




                Sobat, dalam kehidupan kita sehari-hari kita semua pasti akan membutuhkan bantuan orang lain, entah itu dengan meminjam barang milik saudara kita yang dapat kita manfaatkan atau meminta tolong terhadap tenaga orang-orang yang ada di sekitar kita untuk membantu meringankan beban kita. Akan tetapi terkadang sebagian orang hanya berniat mencari untung buat mereka sendiri dengan merugikan hak saudaranya. Sehingga muamalah yang sebenarnya adalah sebuah bentuk tolong menolong berubah menjadi sebuah kezaliman. Melihat kenyataan yang Demikian itu adanya,