Tahun 9 Hijriah mulai memasuki musim panasnya. Jazirah Arab bermandikan debu dan panas mentari. Seperti biasa. Tapi, kali ini nampak sebuah pemandangan yang agak berbeda. Itu Rasulullah! Sedang apa beliau?
Ternyata beliau sedang mengumumkan kepada semua khalayak bahwa jihad ke negeri Romawi
akan dihelat. Memang tak biasanya Rasul mengumumkan jihad seorang diri, karena
biasanya beliau akan menyuruh utusan untuk mengumumkannya kepada kaum muslimin.
Ada apa gerangan?
Kali ini musuh yang akan dihadapi sangatlah berbeda.
Mereka adalah tentara Multinasional, gabungan prajurit terlatih Romawi dan
kabilah-kabilah Arab bawahannya. Ditambah lagi, saat itu Madinah tengah dilanda
musim panas dengan udara yang sangat kering. Karena itulah beliau mengumumkan
jihad kali ini seorang diri, tanpa melalui perantara.
Panggilan jihad diserukan ke pelosok
Madinah dan tempat-tempat sekitar. Kaum muslimin pun satu persatu berdatangan
menyambut panggilan mulia itu. Kendati panas menyengat dan buah kurma di kebun telah
ranum siap untuk dipanen, tak menyurutkan langkah mereka mendaftarkan diri
sebagai calon prajurit. Meninggalkan rumah dan kebun kurma mereka yang teduh,
untuk bergelut di padang pasir panas nan tandus.
Yang tua, yang muda, si kaya, si miskin, semua
datang dengan sumbangsih masing-masing yang mereka miliki. Ada yang datang
dengan membawa berkarung-karung kurma sebagai stok logistik pasukan ketika
berjuang, ada yang datang membawa uang, ada juga yang hanya bisa menyumbangkan
secakup kurma yang ia bawa dari hasil kebunnya. Dan itulah yang ia mampu.
Kendati orang-orang munafik saling mengejeknya, pantang baginya membatalkan
niatan sedekah yang ikhlas bagi mujahid fi sabilillah hanya lantaran ejekan mereka.
Lain lagi dengan para ashabu
ash-shuffah. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak
memiliki tempat tinggal. Jangankan tempat tinggal, makanan pun mereka harus
dijatah dari Baitul Mal dan sedekah pemberian kaum muslimin. Walau keadaan
mereka serba kekurangan, gelora semangat jihad di tanah Romawi sangat memuncak
dari dasar perasaan mereka. Namun, sumbangsih apakah yang dapat mereka berikan
kepada kaum muslimin yang sekarang tengah tenggelam dalam hiruk-pikuk
persiapan? Satu orang dari mereka memberanikan diri untuk mendaftarkan diri
kepada Rasulullah.
*****
Ulbah bin Zaid menghampiri Rasulullah yang
tengah sibuk menyiapkan pasukan dan menerima sedekah bagi para mujahid yang
akan diberangkatkan. Ulbah memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah, atau
lebih tepatnya meminta agar dirinya dan teman-teman ashabu ash-shuffah
diikutsertakan dalam jihad ke negeri Romawi kali ini. Rasulullah terdiam
sejenak. Rasul tahu semangat sahabatnya itu untuk ikut berjihad bersama kaum
muslimin yang lain. Tapi, keadaan belum memungkinkan untuk membawa mereka.
“Apakah engkau memiliki kendaraan?” tanya beliau kepada Ulbah. “Tidak,”
jawabnya. Rasul juga telah memeriksa, ternyata tidak ada lagi
tumpangan ke sana. Dengan berat hati
Nabi menjelaskan kepada Ulbah, “Wahai Ulbah, sesungguhnya kami belum bisa
membawamu berjihad kali ini, karena kami tidak memiliki tumpangan untuk
membawamu.”
Hancur hati Ulbah mendengar penuturan
dari Rasulullah tadi. Pedih. Tapi apa mau dikata, memang keadaannya begitu. Ia
hanyalah seorang miskin, bahkan sangat miskin sehingga untuk makan pun harus
mengandalkan bantuan dari orang lain. Bagaimana pula ia bisa mencari
tunggangan yang bisa membawanya ke Romawi?! Uang, ia sama sekali tak punya.
Ulbah menahan butiran hangat dari
sudut kelopak matanya agar tak tarjatuh. Ia meninggalkan Rasulullah menuju
peraduannya, di teras Masjid Nabawi. Ternyata Ulbah tak kuasa menahan tetesan
air matanya yang saat ini telah berderai. Siapa yang akan
ia salahkan? Sementara ini dirinya hanya bisa terdiam merenungi nasib sebagai
orang yang kekurangan. Meratapi nasibnya karena tak bisa berbuat seperti kaum
muslimin yang lain. Mengapa orang lain bisa berinfak, sedangkan aku tidak?!
*****
Malam kian dingin. Suasana kota
Madinah sejenak lengang
setelah shalat Isya’ menemani orang-orang pergi, ke peraduan merebahkan badan. Sementara itu, di emperan Masjid
Nabawi seorang berpakaian lusuh tengah terduduk lesu. Pikirannya jauh menerawang, mengamati keadaannya saat ini.
Dalam kepapaan dan hampir tenggelam dalam keputusasaan.
Ternyata kejadian tadi pagi masih melekat kuat dalam
pikirannya. Berkelebat bayang-bayang Rasulullah yang amat sangat terpaksa
menolaknya karena kendaraan sudah tak tersedia. “Kasihan kau, Ulbah. Sudah tak
punya, kau pun tak bisa berjihad melawan musuh-Nya!” gumamnya dalam hati. Ia
pun ingat, Ulbah masih punya Rabb! Allah Yang Mahamendengar segala keluhan yang
diadukan oleh hamba-Nya. Ia pun mengumpulkan segenap kekuatannya untuk bangkit
mengambil air wudhu guna mengadukan segala yang ia lalui dalam munajatnya nanti
malam, ketika semua orang terlelap.
Kini sosok itu telah hanyut dalam hening
munajatnya. Khusyuk.
*****
Semburat wajah penuh harap dan belas kasih
dari Penciptanya. Segala keluh kesah ia tumpahkan dalam munajat kali itu. “Ya
Allah, Engkau telah memerintahkan para hamba-Mu untuk berjihad dan berinfak.
Namun Engkau tidak memberikan kepadaku harta dan
kendaraan yang bisa mengantarkanku ke medan jihad. Ya Allah, malam persaksikanlah, bahwa semua kezaliman yang pernah manusia
lakukan kepadaku aku telah ikhlaskan dan kusedekahkan hal itu bagi mereka yang
tengah bersiap menuju medan perang esok.”
Terasa sedikit lega hati Ulbah setelah
meluapkan emosi yang sempat tertahankan untuk beberapa saat. Kini setidaknya ia
bisa istirahat sejenak menunggu waktu fajar. Udara dingin musim kering kota
Madinah tak dirasakannya lagi. Semua berganti menjadi hawa hangat yang
mengaliri sekujur tubuhnya.
*****
“Allahu Akbar....! Allahu
Akbar.....!”
Suara adzan fajar mengetuk telinga
Ulbah. Tak terasa semalaman ia mengadukan semuanya kepada Allah Yang
Mahamendengar. Tersadar sejenak,
kemudian ia mulai menunaikan shalat bersama Rasulullah dan kaum muslimin
yang lain.
Tak seperti biasanya, seusai shalat berjamaah Ulbah keheranan. Para sahabat yang lain juga demikian.
“Ada apakah gerangan, Rasulullah langsung membalikkan
badan dan bertanya kepada jamaah? Perihal apakah itu?” tentu hal yang sangat penting.
“Siapakah yang bersedekah tadi malam?” tiba-tiba pertanyaan Rasulullah
menyeruak dalam keheningan
hadirin. Namun
sama sekali tidak ada yang merasa bahwa tadi malam ada yang bersedekah. Rasul
mengulanginya lagi, “Siapakah yang telah bersedekah tadi malam?” Kali ini juga tak
satu pun dari sahabat yang mengaku. Kasak-kusuk di belakang mulai terjadi.
Menebak-nebak siapakah yang telah bersedekah dalam diam-diam. Dan untuk
terakhir kalinya Rasulullah mengulangi pertanyaan itu, “Siapakah yang tadi
malam telah bersedekah?” Maka Ulbah dengan agak ragu-ragu berdiri dan menjawab,
“Saya, wahai Rasulullah.” Nampak rona
kebahagiaan membuncah dari wajah baginda Rasulullah. Beliau berkata kepada
Ulbah, “Berbahagialah wahai Ulbah, sesungguhnya sedekahmu tadi malam telah
dicatat oleh Allah sebagai sedekah yang diterima!”
Betapa sangat bahagianya seorang Ulbah
bin Zaid mendengar berita itu dari Rasulullah. Ia pun tak menyangka bahwa Allah
akan menerima sedekah itu begitu cepat. Namun Ulbah berkali-kali mencoba
meyakinkan dirinya tentang kebenaran yang telah disampaikan oleh Nabi tadi. ……………………………..????