Rabu, 31 Juli 2013

Bahasa Indonesia Jurnalistik*

0Share
   Sobat, dunia jurnalistik kalau benar-benar digeluti dengan tekun, bisa jadi ia akan membuahkan hal-hal yang tak pernah terkirakan sebelumnya. Dan untuk menjadi jurnalis yang sukses, ternyata ada kaedahnya, termasuk cara penyajian tulisan kita agar banyak diminati namun tidak keluar dari pakem kaedah bahasa Indonesia yang ada.
   Nah, berikut ini sebuah artikel saya ambil dari Kompasiana tentang penulisan bahasa jurnalistik. Semoga bermanfaat.
Oleh Udo Z. Karzi**
1344398274487318323
Ini salah satu contoh judul berita sebuah koran.

PENGERTIAN
    Bahasa yang digunakan wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral (demokratis).
Namun jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia mesti memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.

 
Ragam Bahasa
   
Bahasa Indonesia umum mempunyai dua corak yang nyata bedanya, yaitu bahasa tutur dan bahasa bergaya.
    Bahasa tutur atau bahasa percakapan ialah bahasa yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam percakapan. Sifat-sifat khasnya, bersahaja, sederhana, dan singkat bentuknya.
    Bahasa bergaya ialah bahasa yang digayakan, yang sengaja diperbesar daya gunanya. Segala sesuatunya disusun diatur, dan digunakan seefisien-efisiennya, supaya sanggup menyalurkan berita batin.

Jenis yang kedua (bahasa bergaya) bentuknya beragam:
1. ragam umum,
2. ragam khusus, terdiri dari
a. ragam ringkas yang meliputi ragam jurnalistik, ragam ilmiah, dan ragam jabatan
b. ragam sastra
 
Bahasa Baku
    Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Bahasa ini digunakan dalam situasi resmi, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
    Bahasa baku menjalankan empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penambah wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
 
Aturan Bahasa Indonesia
    Bahasa jurnalistik harus mengindahkan kaidah-kaidah tata bahasa. Ia harus mengikuti pokok aturan bahasa Indonesia.
    Pokok aturan pertama: Yang penting atau yang dipentingkan ditaruh di depan, yang kurang penting atau keterangan di belakang. Dengan demikian kita menulis: “Buku ini bagus” bukan “Ini buku bagus”; “Malam nanti kita menonton”, bukan “Nanti malam kita menonton”.
Pokok aturan kedua: Kata benda Indonesia tidak memunyai bentuk jamak (plurak; jumlah lebih dari satu). Untuk menunjukkan jamak digunakan kata “banyak”, “beberapa”, “semua”, “segala”, “setengah”, dan sebagainya atau disebut jumlahnya. Penjamakan kata dapat juga dilakukan dengan mengulang kata sifat yang di bekangnya, misalnya “kota bersih-bersih”, “kuda bagus-bagus”. Terkadang dikatakan pula “kota-kota bersih”, “kuda-kuda bagus”.
Pokok aturan ketiga: Tidak ada benda untuk laki-laki atau perempuan dalam bentuk kata benda.
 
Ejaan
    Bahasa jurnalistik harus memperhatikan ejaan yang benar. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktek bukan main banyak kesulitan. Wartawan semestinya memiliki Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan untuk dikonsultasi sewaktu diperlukan.
 
Pertumbuhan Kosa Kata
    Kata-kata ialah alat para wartawan. Mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumla kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan, baik kosa kata (vocabulary) dan ungkapan-ungkapan (phrase).
    Wartawan atau lebih luas media massa memunyai peranan dalam menyiptakan kata-kata baru atau dalam pertumbuhan kosa kata. Banyak kata yang dipopulerkan melalui surat kabar seperti heboh, gengsi, anda, ganyang, ceria, sadis, dan sekian banyak kata baru yang muncul akhir-akhir ini.
 
 PATOKAN MENULIS
    Pada awalnya sudah dikatakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral. Dalam hubungan itu, Rosihan Anwar (2004) menyodorkan beberapa patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik Indonesia.
 
Gunakan kalimat-kalimat pendek. Prinsip inilah yang mengantarkan pengarang Amerika Ernest Hemingway memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel. Waktu muda Hemingway menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star. Di situ, sambil bekerja, ia banyak belajar tentang prinsip-prinsip penulisan berita.
 
Gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang. Apa yang disampaikan kepada khalayak (audience) harus betul-betul dapat dimengerti orang. Jauhi kata-kata teknik ilmiah dan kata-kata bahasa asing. Kalau terpaksa, jelaskan terlebih dahulu arti kata-kata itu.
 
Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya. Khalayak media massa terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Bayangkan pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamat SMP agar tulisan kita mencapai khalayak yang aneka ragam itu. Rumus ini dikemukakan Injo Beng Goat, pemimpin redaksi harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an.
 
Gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk. Dengan menggunakan kalimat majemuk, pengutaraan pikiran kita mudah terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Wartawan sebaiknya menjauhkan diri dari kesukaan memakai kelimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi tidak terang (wolly).
 
Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut dari wartawan. Dibanding kalimat “Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan”, kalimat “Si Polan memukul si Amat babak belur” terasa lebih hidup bergaya. Kalimat pasif jarang digunakan, walaupun ada kalanya dia dapat menimbulkan kesan kuat.
 
Gunakan bahasa padat dan kuat. Hematlah dengan kata-kata. Kembang-kembang bahasa dan pengulangan makna yang sama seperti dalam sastra harus dihindarkan. Kalimat “Siapa nyana, siapa kira hati Bobby hancur luluh, runtuh berderai karena gadis jelita elok rupawan si manis Yatie” tidak akan dipakai dalam bahasa jurnalistik.
 
Gunakan bahasa positif, bukan bahasa negatif. Kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi menolak memberikan keterangan kepada Lampung Post” terasa lebih akurat dibandingkan dengan kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi tidak bersedia memberi keterangan kepada Lampung Post“.
 
EKONOMI KATA DAN KATA MUBAZIR
     Ekonomi kata (word economy) sangat diperlukan untuk membentuk bahasa jurnalistik yang lebih efisien (hemat dan jelas).
     Kita tidak menulis “agar supaya”, tetapi cukup satu perkataan saja, “agar” atau “supaya”. Kita selalu berusaha menulis dengan kalimat pendek, tidak dengan kalimat majemuk. Kita juga mesti menghilangkan ungkapan atau peribahasa.
     Berkaitan dengan efisiensi pula, bahasa jurnalistik selalu membuang kata mubazir. Kata mubazir ialah kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Kata mubazir ialah kata yang sifatnya tarasa berlebih-lebihan. Kata mubazir ialah kata yang bila dihilangkan dari sebuah kalimat malahan akan membantu memperlancar jalan bahasa dan membuat kalimat itu lebih kuat kesannya.
    
    Kata-kata yang digarisbawahi dalam kalimat-kalimat berikut ini ialah kata mubazir yang lebih baik jika dihilangkan saja.
1. Ismail menjelaskan bahwa pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
2. Pernyataan dari/daripada pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu adalah merupakan suatu pernyataan yang keliru.
3. Ratusan pelajar telah menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
4. Budi Anduk menyatakan bahwa ia akan siap untuk memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
5. Unila sedang nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan-kegiatan Dies Natalis.

Kalimat-kalimat di atas akan lebih baik jika dibuat:
1. Ismail menjelaskan, pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
2. Penyataan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu suatu kekeliruan.
3. Ratusan pelajar menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
4. Budi Anduk menyatakan siap memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
5. a. Unila nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan Dies Natalis.
b. Unila nampak sibuk menggelar kegiatan-kegiatan Dies Natalis.
    Dengan demikian, kita telah berkenalan dengan beberapa kata mubazir seperti “adalah” (kata kopula), “telah”, “sedang”, dan “akan” (pengaruh tenses dalam bahasa Inggris); “untuk” (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris); “dari” dan “daripada” (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik); bahwa (sebagai kata sambung); dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
 
TERAS BERITA
Teras berita ialah istilah yang ditetapkan kantor berita Antara sebagai terjemahan kata Inggris “lead“. Ada juga yang menyebutnya dengan “intro”.  Teras berita merupakan bagian yang penting. Karena itu ia harus menarik. Caranya ialah menulis dengan kalimat pendek-pendek.
Buku Tata Penulisan Berita, Suatu Style Book yang diterbitkan Antara tahun 1977 menyebutkan teras berita harus mudah ditangkap dan singkat padat, serta kalimat-kalimatnya sederhana, tidak berbelit-belit.
Sebaiknya, dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, teras berita jangan mengandung lebih dari 30 dan 45 perkataan. Apabila teras berita lebih singkat, misalnya 25 perkataan atau kurang dari itu, maka hal itu lebih baik.

KEPALA BERITA

     Kepala berita (headline) kadang memunyai bahasanya sendiri. Di antaranya ialah kebiasaan menghilangkan bentuk awalan (prefix) agar judul berita lebih hidup. Kebiasaan ini tentu saja tidak boleh dibawa-bawa dalam menulis teras dan badan berita.
Kepala berita harus menceritakan intisari berita dalam bentuk ringkas dan padat, serta mencerminkan nada berita atau cerita; ditulis dalam bentuk kalimat aktif; dan membatasi diri pada fakta dalam berita atau cerita (kecuali untuk karangan khas atau feature).
 
KESALAHAN-KESALAHAN BAHASA
Kerancuan (Kontaminasi)
     Kontaminasi ialah pencampuran dengan tidak sengaja. Pencampuran ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan karena membuat kalimat menjadi kacau (rancu). Contoh:
1. “untuk sementara waktu” mestinya “untuk sementara” atau “untuk beberapa waktu” (sementara = sedang, untuk beberapa waktu);
2. “sementara orang” mestinya “beberapa orang”
3. “selain daripada itu” mestinya “selain itu” atau “lain daripada itu”;
4. “dan lain sebagainya” mestinya “dan lain-lain” atau “dan sebagainya”;
5. “berhubung karena” mestinya “berhubung dengan” atau “karena”;
6. “demi untuk” mestinya “demi” saja atau “untuk” saja;
7. “agar supaya” mestinya “agar” saja atau “supaya” saja;
8. “Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
mestinya
“Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
atau
“Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 1 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
 
Subjek Jangan Sampai Hilang
    Dalam menyusun kalimat jalanlah subyek menjadi hilang seperti kalimat: “Dengan keberhasilan kesebelasan Negerisakti memenangkan pertandingan melawan kesebelasan Sukamiskin itu, maka menempatkannya sebagai juara Bupati Pesawaran Cup tahun ini.”
Selain tidak bersubyek, kalimat di atas rancu. Kata “dengan” mesti ditiadakan, dan dengan demikian “keberhasilan kesebelasan Negerisakti memenangkan pertandingan melawan kesebelasan Sukamiskin” menjadi subyek kalimat. Kata “maka” juga harus dihilangkan karena bukan pada tempatnya. Kalimat di atas baiknya begini: “Keberhasilan kesebelasan Negerisakti melawan kesebelasan Sukamiskin menempatkannya sebagai juara Bupati Pesawaran Cup tahun ini.”

Kata ‘di mana’, ‘hal mana’, ‘yang mana’

     Baik dalam bahasa percakapan maupun dalam bahasa tulisan, banyak kita jumpai kalimat relatif yang dihubungkan dengan kata-kata:
di mana; yang mana; hal mana; di atas mana; dari mana; dengan siapa.
Dengan tidak disadari kita terpengaruh oleh struktur bahasa asing. Kata-kata tersebut ialah kata ganti penghubung. Dalam bahasa Belanda kata-kata tersebut ialah:
wat; welke; waarop; waarcan; met wie.
Contoh:
1. Kantor di mana dia bekerja, tidak jauh dari rumahnya.
2. Keadaan di Iran sangar gawat, yang mana mengancam tahta Shah.
3. Daerah dari mana beras didatangkan terletak jauh di pedalaman.
4. Orang dengan siapa dia akan berunding ternyata bajingan.
5. Penyakit ityu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) di mana konsentrasi besar mereka di Vietnam.

Kalimat-kalimat di atas sebenarnya tidak mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat itu sebaiknya berbunyi:
1. Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
2. Keadaan di Iran sangat gawat, dan mengancam tahta Shah.
3. Daerah yang menghasilkan beras terletak jauh dari pedalaman.
4. Orang yang akan berunding dengan dia ternyata bajingan.
5. Penyakit itu berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI). Konsentrasi besar mereka ada di Vietnam.
 
Kata-kata Penat
     Kata-kata penat (tired words) ialah kata-kata yang terlalu sering dipakai. Kata itu ke itu juga yang muncul sehingga membuat orang bosan membacanya.
Ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita misalnya, kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”, dan sebagainya.
 
Bentuk Aktif dan Pasif Disatukan
     Disiplinkan pikiran supaya tidak mencampuradukkan bentik pasif (di-) dengan bentuk aktif (me-) dalam satu kalimat.
Contoh:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia, dibuka oleh Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
Teras berita ini mesti dipecah dalam dua kalimat:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia. Rapat kerja itu dibuka Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
 
Kata Depan atau Awalan?
     Sering terjadi wartawan melakukan kesalahan dalam penulisan kata “di” dan “ke”. Kesulitan ini biasanya terletak pada kapan harus menulis kedua kata itu serangkai dan kapan mesti menulis terpisah dengan kata yang di belakangnya.
     Untuk mengatasi kesulitan itu, kita harus dapat membedakan “di dan ke sebagai kata depan” dan “di- dan ke- sebagai awalan”. Jika ia berfungsi sebagai kata depan, maka penulisannya terpisah; tetapi jika berfungsi sebagai awalan, maka penulisannya serangkai dengan kata yang menyertainya.
 
Hiperkorek
     Hiperkorek (bahasa Inggris: hypercorrect) berarti “melampaui batas tepat atau benar sehinga menjadi salah”.
Contoh:
1. “Dipakai tenaga akhli Amerika dengan memberikan gajih yang cukup tinggi.” Kata akhli harus ditulis ahli dan gajih menjadi gaji.
2. “Di lain fihak, perbedaan tingkat ekonomi yang menyolok itu, juga sering menimbulkan iri hati.” Kata fihak harus ditulis pihak.
 
BACAAN
Anwar Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Yogyakarta: Media Abadi.
Badudu, J.S. 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: PT Gramedia.
Karzi, Udo Z., Ed. 1992. Jurnalistik Kampus. Bandar Lampung: UKM-PSKK Teknokra.
Patmono SK. 1990. Teknik Jurnalistik: Tuntunan Praktis Menjadi Wartawan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Poerwadarminta, WJS. 1979. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Yogyakarta: UP Indonesia.
Rahardi, Kunjana. 2006. Asyik Berbahasa Jurnalistik: Kalimat Jurnalistik dan Temali Masalahnya. Yogyakarta: Santusta.
Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Siregar, Ras. 1991. Bahasa Indonesia Jurnalistik. Jakarta: Pustaka Grafika.

* Makalah disampaikan untuk Seminar Kebahasaan yang diselenggarakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Kabupaten Pesawaran di SMPN 2 Negerikaton, Pesawaran, 28 Oktober 2010.
** Udo Z. Karzi, jurnalis, menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996). Menulis buku: Momentum (kumpulan sajak, 2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak bahasa Lampung, 2007).

Rabu, 24 Juli 2013

Jangan Kotori Dunia Anak

Untuk Hari Anak Nasional yang telah berlalu

            Melihat anak-anak tertawa lepas, berlarian dan bermain bisa menjadi obat stres tersendiri bagi sebagian orang. Atau saat melihat si kecil tengah menikmati buku bacaannya atau asyik belajar mengenai pelajaran yang disukainya juga bisa menjadi obat kepenatan bagi manusia dewasa. Demikianlah dunia anak-anak yang berwarna-warni, indah dan masih polos.


           Saudara, keindahan dunia anak memang seharusnya kita lestarikan dan kita jaga. Bukan malah kita kotori dengan berbagai macam sampah yang akan merusak keindahanya. Jangan berpikir bahwa sampah itu hanya berwujud kekerasan fisik, kekangan di luar batas kemampuan atau perbuatan yang semisal. Tapi, sampah itu dapat berwujud benda atau kebiasaan yang sering dianggap wajar oleh kita sebagai orang tua. Sebut saja game offline maupun online, televisi, kebiasaan orang tua yang jelek semisal bicara tidak sopan atau tidak mau beribadah dan yang lain sebagainya. Itulah sampah yang dapat mengotori keindahan dunia anak yang masih polos. Miris memang. Karena masih banyak yang seakan kurang tanggap dengan fenomena ganjil ini.
            Dengan dalih untuk mengalihkan perhatian anak supaya tidak main di luar rumah, para orang tua masih rela menitipkan anak-anak mereka kepada TV, Playstation dan yang lainnya. Kita masih tak sadar bahwa itu ibarat kata pepatah, “Keluar kandang singa, masuk lubang buaya.”
Banyak anak yang suka melamun karena membayangkan tentang adegan yang seharusnya belum ia konsumsi dari TV, tidak sedikit juga anak-anak yang menjadi penakut karena telah sering menonton tayangan mistik di televisi.

            Para orang tua, Hari Anak Nasional baru saja kita lewati. Mari kita ubah segala hal yang mengandung dampak negatif perkembangan anak kita mulai saat ini. Kita juga harus ingat bahwa anak kita adalah amanah dari Allah untuk kita jaga, rawat dan didik. Bila kita sudah memiliki anak tapi kita tidak merasa peduli dengan tumbuh kembang mereka secara jasmani dan rohani, berarti kita memang belum siap untuk menjadi orang tua. Kita belum pantas menjadi seorang tua dari anak yang kita miliki. Wallahu a’lam.

Kau Datang Ingin Mencuri dariku, Tapi Sayang, Kucuri Hatimu Terlebih Dulu


          Alkisah, ada seorang pencuri yang masuk ke rumah salah seorang ulama yang bernama Malik bin Dinar. 


           Setelah berhasil masuk rumah, pencuri itu blusak-blusuk mencari barang yang hendak ia curi. Namun sayang, barang yang ia cari tidak kunjung ia dapatkan. Ia pun terus mencari hingga melihat sang tuan rumah (Malik bin Dinar) tengah khusyuk melaksanakan shalat. 
          Setelah selesai shalat, Malik bin Dinar menyalami pencuri itu  seraya bertanya, 
          
            "Engkau mencari bekal dunia tapi engkau tidak berhasil mendapatkannya. Apakah engkau di akhirat nanti sudah mendapat bekal?"
           
           Tertegun bercampur heran hati si pencuri mendengar kata-kata Malik bin Dinar tersebut.
Akhirnya Malik bin Dinar pun menasihati si pencuri hingga pencuri itu pun menangis. Seusai Malik memberikan nasihat, ia mengajaknya untuk pergi menunaikan shalat. 

            Di masjid, para jamaah terheran-heran mendengar penuturan kisah yang dialami oleh dua orang tersebut. "Pencuri kelas kakap bersama seorang ulama dalam satu rumah?! Tidak masuk akal!" gumam mereka. Namun demikianlah kenyataan yang mereka harus terima. Akhirnya mereka pun berkata, 

"Engkau datang untuk mencuri dari kami, tapi malah kami yang mencuri hatimu terlebih dahulu."


 (diterjemahkan secara bebas oleh Abine_Ocha dari situs Syaikh Muhammad Husain Ya'qub)

Jumat, 19 Juli 2013

Bila Nazhor (Ta'aruf) Hanya Menjadi Sekadar Hobi

Foto: ‎Bila nazhar telah menjadi sekadar hobi
        Sesungguhnya bukan tanpa alasan Allah menjadikan Hawa untuk Adam yang kesepian. Demikian juga hal itu telah dfitrahkan untuk anak keturunannya hingga akhir zaman. Ya. Kebutuhan akan pasangan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kehidupan anak Adam. Berbagai cara diupayakan untuk mencari pasangan yang sesuai dengan harapan. Bahkan terkadang cara yang ilegal pun diterjang untuk dilakukan. Kendati jodoh dan rezeki telah diatur oleh Allah semenjak manusia belum diciptakan. 
 Banyak orang yang menginginkan pasangan ideal sebagai teman dalam bahtera saat mengarungi lautan rumah tangga. Harus ini, harus itu, tidak boleh ini dan tidak boleh itu, kerap dipikirkan saat akan mencari calon pendamping hidup. Banyak hal yang dijadikan pertimbangan. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi hendaknya kita juga harus tahu, bahwa tidak ada manusia yang sempurna dalam segala sisi, alias pasti ada cacatnya. Tak jarang pula yang gara-gara memikirkan berbagai aspek penilaian terhadap calon pasangan akhirnya menyesal pula karena akan telat mendapat jodoh. Dan ujung-ujungnya juga, biasanya jodoh yang tidak sesuai dengan kriteria sebelumnya. 
 Saya jadi teringat teman-teman atau kenalan para ikhwan yang disebut-sebut sebagai orang-orang yang gampang nazhar. Saking seringnya nazhar sampai namanya menjadi tekenal di kalangan para akhwat. Bukan karena nama baiknya yang menjadi terkenal, tapi dikenal supaya dijauhi oleh para akhwat yang akan dinazhar. “Eh, Mbak, si Ikhwan yang itu ya, yang mau nazhar? Hati-hati ya..” demikian nasihat seorang akhwat kepada saudarinya.  
Jadi, yang sewajarnya saja ketika akan mencari pasangan hidup. Memang benar, mencari kalau bisa yang sekali untuk selamanya. Namun, tidak juga harus dengan mematok kriteria setinggi langit sampai menembus limit ideal sehingga mengorbankan segalanya. Termasuk dengan menjadikan syariat nazhar sebagai hobi semata. Jadi, pilah-pilih itu boleh, tapi yang sewajarnya saja dan jangan mempersulit. Lagipula Rasulullah n\ sudah berpesan dalam hadits riwayat Muslim (2670):
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ . قَالَهَا ثَلَاثًا 
 “Celaka orang yang berlebih-lebihan.” (Beliau ucapkan tiga kali)‎
           Sesungguhnya bukan tanpa alasan Allah menjadikan Hawa untuk Adam yang kesepian. Demikian juga hal itu telah dfitrahkan untuk anak keturunannya hingga akhir zaman. 
           Kebutuhan akan pasangan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kehidupan anak Adam. Berbagai cara diupayakan untuk mencari pasangan yang sesuai dengan harapan. Bahkan terkadang cara yang ilegal pun diterjang untuk dilakukan. Kendati jodoh dan rezeki telah diatur oleh Allah semenjak manusia belum diciptakan.
              Banyak orang yang menginginkan pasangan ideal sebagai teman dalam bahtera saat mengarungi lautan rumah tangga. Harus ini, harus itu, tidak boleh ini dan tidak boleh itu, kerap dipikirkan saat akan mencari calon pendamping hidup. Banyak hal yang dijadikan pertimbangan. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi hendaknya kita juga harus tahu, bahwa tidak ada manusia yang sempurna dalam segala sisi, alias pasti ada cacatnya. Tak jarang pula yang gara-gara memikirkan berbagai aspek penilaian terhadap calon pasangan akhirnya menyesal pula karena akan telat mendapat jodoh. Dan ujung-ujungnya juga, biasanya jodoh yang tidak sesuai dengan kriteria sebelumnya.
               Saya jadi teringat teman-teman atau kenalan para ikhwan yang disebut-sebut sebagai orang-orang yang gampang nazhar. Saking seringnya nazhar sampai namanya menjadi tekenal di kalangan para akhwat. Bukan karena nama baiknya yang menjadi terkenal, tapi dikenal supaya dijauhi oleh para akhwat yang akan dinazhar. “Eh, Mbak, si Ikhwan yang itu ya, yang mau nazhar? Hati-hati ya..” demikian nasihat seorang akhwat kepada saudarinya.
                Jadi, yang sewajarnya saja ketika akan mencari pasangan hidup. Memang benar, mencari kalau bisa yang sekali untuk selamanya. Namun, tidak juga harus dengan mematok kriteria setinggi langit sampai menembus limit ideal sehingga mengorbankan segalanya. Termasuk dengan menjadikan syariat nazhar sebagai hobi semata. 
               Walhasil, pilah-pilih itu sebenarnya boleh, tapi ya  yang sewajarnya saja, dan jangan mempersulit. Lagipula bukankah Rasulullah n\ sudah berpesan dalam hadits riwayat Muslim (2670):

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ . قَالَهَا ثَلَاثًا
 
                  “Celaka orang yang berlebih-lebihan.” (Beliau ucapkan tiga kali)

Senin, 15 Juli 2013

Tak Kusangka, Terharu Kudengar Suaramu

      
               Shalat tarawih malam ke 7 dari bulan Ramadhan yang penuh berkah di tahun ini akan dilaksanakan di dua tempat. Masjid besar untuk yang sudah dewasa dan di pelataran sekolah untuk anak-anak.
               Sengaja malam itu aku shalat di belakang seorang anak kecil yang tak lain adalah muridku sendiri. Mengapa aku sampai shalat di belakangnya? Bukankah masih banyak imam yang lebih dewasa darinya? Mungkin itulah beberapa pertanyaan yang akan terlintas di benak para pembaca.
         Bukan tanpa alasan aku bermakmum di belakang anak ini. Selain karena hafalannya yang telah selesai, bacaannya lumayan bagus dan aku ingin bernostalgia dengan suaranya yang sudah sekitar setahun ini tak pernah kudengar lagi. Padahal ia termasuk murid yang paling sering membuatku jengkel terhadap sikapnya. Bukan karena bengal dan suka teriak-teriak atau membuat onar. Bukan itu, tapi sangat pendiam sehingga orang yang berhadapan dengannya akan merasa serba salah.
          Bila dilihat sepintas, tidak ada yang istimewa dari anak ini. Ia hanyalah seorang bocah yang baru mencicipi rasanya kelas II SMP. Namun ia berhasil menyelesaikan hafalannya ketika masuk kelas VI SD. Ah, sudahlah. Biarlah masa-masa itu tersimpan rapi dalam memoriku.

JUJUR KUKATAKAN
          Ketika telah lulus SD aku sempat khawatir dengan hafalannya. Karena masa-masa itu adalah masa labil seorang anak. Dia pun seakan selalu menghindar ketika berpapasan denganku. Aku pun menjadi serba salah. Mungkinkah ia masih menyimpan amarah terhadapku karena perlakuanku dulu yang cukup dibilang "galak"? Entahlah. Namun sebenarnya kulakukan itu semata-mata ingin melihat murid-muridku berhasil.
          Shalat Isya' segera didirikan. Tapi, ke mana anak itu? Kutanyakan kepada kolegaku dan orang-orang di pelataran tempat kami akan menunaikan shalat. "Mana "Z", ada apa enggak?" tanyaku. Mereka pun mengatakan bahwa ia ada. Ternyata ia tak mau mengimami shalat Isya'. Shalat Isya' pun diimami oleh kolegaku.
          Shalat Isya' berhasil diselesaikan dengan baik. Kami pun bersiap-siap menunaikan shalat tarawih. Saat inilah yang kutunggu-tunggu. Sudah teramat rindu aku ingin mendengar suaranya. Bagaimanakah perkembangannya sampai saat ini? Gemetarkah ia karena ini adalah saat pertama kalinya ia maju menjadi imam? Terlebih lagi ketika sempat kutanya sebelum ia maju ke depan, "Mau baca surat apa?" Ia menjawab, "Al-Maidah." Semoga kekuatan hafalannya masih seperti yang dulu, gumamku dalam hati.
           Bacaan al-Fatihah rakaat pertama mengalun dengan pelan tapi pasti. Terasa syahdu bagiku. Namun dari suaranya terdengar ia agak grogi. Dan hal itu kumaklumi. Ia mulai memasuki gerbang al-Maidah. Ia kawal ayat-ayat itu dengan apik. Tak terasa aku yang menyimak di shaf paling belakang mulai merasakan hal berbeda. Entah kenapa, bulu kudukku merinding mendengar suaranya. Perasaan haru dan bangga bercampur menjadi satu. Demi Allah, aku hampir menangis saat mendengar alunan suaranya saat mengawal ayat-ayat dalam surat al-Maidah tersebut dengan indah.
           Inikah muridku dulu yang sering kumarahi? Inikah muridku dulu yang sering membuat hatiku jengkel? Sekarang engkau telah berubah, Nak. Jujur kuakui, terharu saat kudengar lantunan bacaanmu. Tak terasa 11 rakaat pun berlalu dengan cepat. Bila mungkin, aku ingn mengulang masa itu agar semakin kuat berada di memoriku.

                                  Maafkan gurumu ini bila di masa lalu ia telah banyak berbuat salah.
                                  Sebenarnya ia hanya ingin melihat anak-anaknya menjadi berhasil.

Selasa, 09 Juli 2013

Saat utang telah menjadi gaya hidup



            Kita sebagai masyarakat Indonesia telah hampir terbiasa dengan dampak krisis yang melanda negeri tercinta ini semenjak kurang lebih 15 tahun yang lalu. Memang, utang adalah sebuah jerat yang sangat mematikan. Bahkan karena jerat utang manusia bisa kalap dan melakukan apa saja demi untuk terbebas dari jeratnya. Maka dari itu, kita juga sering mendengar dan menyaksikan berbagai berita pembunuhan, perampokan dan yang semisalnya yang dilatarbelakangi oleh utang.
            Anehnya, seakan tidak banyak yang menyadari akan bahaya dari jerat utang tersebut. Bahkan yang nampak malah kebalikannya. Justru utang telah menjadi sebuah kebutuhan dan sebuah gaya hidup. Alih-alih untuk bisa hidup cerdas tanpa gangguan utang, kebanyakan masyarakat kita malah menggantungkan dirinya kepada utang dalam hal yang tidak benar-benar diperlukan. Mungkin ada di antara saudara kita berutang untuk memperbesar usahanya. Maka ia masih punya harapan untuk melunasi utangnya dari usaha yang ia kelola. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat kita nampaknya senang berutang dalam hal yang bersifat konsumtif (untuk dikonsumsi saja). Apalagi sekarang tidak banyak utang yang tidak mempunyai bunga alias riba. Tentu saja cekikan utang semakin diperparah dengan cekikan riba.
            Tapi  apa mau dikata. Memang semua keadaan sekarang sudah terbalik. Rasulullah saja berlindung setiap saat dari himpitan utang, juga para sahabat beliau berlindung darinya. Eh, kita malah bersantai hidup bersandarkan utang.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, bukan suatu hal yang mustahil bila anak keturunan kita benar-benar menjadikan utang sebagai gaya hidup yang utama untuk menghadapi kebutuhan harian mereka. Sehingga dengan hal itu mereka akan senantiasa menjadi bangsa yang terjajah dan terjerat tanpa disadari. Allahul musta’an. Semoga Allah segera membebaskan diri, keluarga dan bangsa kita dari jerat utang. Amin.