Sobat, dunia jurnalistik kalau benar-benar digeluti dengan tekun, bisa jadi ia akan membuahkan hal-hal yang tak pernah terkirakan sebelumnya. Dan untuk menjadi jurnalis yang sukses, ternyata ada kaedahnya, termasuk cara penyajian tulisan kita agar banyak diminati namun tidak keluar dari pakem kaedah bahasa Indonesia yang ada.
Nah, berikut ini sebuah artikel saya ambil dari Kompasiana tentang penulisan bahasa jurnalistik. Semoga bermanfaat.
Oleh Udo Z. Karzi**
PENGERTIAN
Bahasa yang digunakan wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral (demokratis).
Namun jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia mesti memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia umum mempunyai dua corak yang nyata bedanya, yaitu bahasa tutur dan bahasa bergaya.
Bahasa tutur atau bahasa percakapan ialah bahasa yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam percakapan. Sifat-sifat khasnya, bersahaja, sederhana, dan singkat bentuknya.
Bahasa bergaya ialah bahasa yang digayakan, yang sengaja diperbesar daya gunanya. Segala sesuatunya disusun diatur, dan digunakan seefisien-efisiennya, supaya sanggup menyalurkan berita batin.
Jenis yang kedua (bahasa bergaya) bentuknya beragam:
1. ragam umum,
2. ragam khusus, terdiri dari
a. ragam ringkas yang meliputi ragam jurnalistik, ragam ilmiah, dan ragam jabatan
b. ragam sastra
Bahasa Baku
Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Bahasa ini digunakan dalam situasi resmi, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Bahasa baku menjalankan empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penambah wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Aturan Bahasa Indonesia
Bahasa jurnalistik harus mengindahkan kaidah-kaidah tata bahasa. Ia harus mengikuti pokok aturan bahasa Indonesia.
Pokok aturan pertama: Yang penting atau yang dipentingkan ditaruh di depan, yang kurang penting atau keterangan di belakang. Dengan demikian kita menulis: “Buku ini bagus” bukan “Ini buku bagus”; “Malam nanti kita menonton”, bukan “Nanti malam kita menonton”.
Pokok aturan kedua: Kata benda Indonesia tidak memunyai bentuk jamak (plurak; jumlah lebih dari satu). Untuk menunjukkan jamak digunakan kata “banyak”, “beberapa”, “semua”, “segala”, “setengah”, dan sebagainya atau disebut jumlahnya. Penjamakan kata dapat juga dilakukan dengan mengulang kata sifat yang di bekangnya, misalnya “kota bersih-bersih”, “kuda bagus-bagus”. Terkadang dikatakan pula “kota-kota bersih”, “kuda-kuda bagus”.
Pokok aturan ketiga: Tidak ada benda untuk laki-laki atau perempuan dalam bentuk kata benda.
Ejaan
Bahasa jurnalistik harus memperhatikan ejaan yang benar. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktek bukan main banyak kesulitan. Wartawan semestinya memiliki Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan untuk dikonsultasi sewaktu diperlukan.
Pertumbuhan Kosa Kata
Kata-kata ialah alat para wartawan. Mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumla kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan, baik kosa kata (vocabulary) dan ungkapan-ungkapan (phrase).
Wartawan atau lebih luas media massa memunyai peranan dalam menyiptakan kata-kata baru atau dalam pertumbuhan kosa kata. Banyak kata yang dipopulerkan melalui surat kabar seperti heboh, gengsi, anda, ganyang, ceria, sadis, dan sekian banyak kata baru yang muncul akhir-akhir ini.
PATOKAN MENULIS
Pada awalnya sudah dikatakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral. Dalam hubungan itu, Rosihan Anwar (2004) menyodorkan beberapa patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik Indonesia.
Gunakan kalimat-kalimat pendek. Prinsip inilah yang mengantarkan pengarang Amerika Ernest Hemingway memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel. Waktu muda Hemingway menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star. Di situ, sambil bekerja, ia banyak belajar tentang prinsip-prinsip penulisan berita.
Gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang. Apa yang disampaikan kepada khalayak (audience) harus betul-betul dapat dimengerti orang. Jauhi kata-kata teknik ilmiah dan kata-kata bahasa asing. Kalau terpaksa, jelaskan terlebih dahulu arti kata-kata itu.
Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya. Khalayak media massa terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Bayangkan pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamat SMP agar tulisan kita mencapai khalayak yang aneka ragam itu. Rumus ini dikemukakan Injo Beng Goat, pemimpin redaksi harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an.
Gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk. Dengan menggunakan kalimat majemuk, pengutaraan pikiran kita mudah terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Wartawan sebaiknya menjauhkan diri dari kesukaan memakai kelimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi tidak terang (wolly).
Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut dari wartawan. Dibanding kalimat “Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan”, kalimat “Si Polan memukul si Amat babak belur” terasa lebih hidup bergaya. Kalimat pasif jarang digunakan, walaupun ada kalanya dia dapat menimbulkan kesan kuat.
Gunakan bahasa padat dan kuat. Hematlah dengan kata-kata. Kembang-kembang bahasa dan pengulangan makna yang sama seperti dalam sastra harus dihindarkan. Kalimat “Siapa nyana, siapa kira hati Bobby hancur luluh, runtuh berderai karena gadis jelita elok rupawan si manis Yatie” tidak akan dipakai dalam bahasa jurnalistik.
Gunakan bahasa positif, bukan bahasa negatif. Kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi menolak memberikan keterangan kepada Lampung Post” terasa lebih akurat dibandingkan dengan kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi tidak bersedia memberi keterangan kepada Lampung Post“.
EKONOMI KATA DAN KATA MUBAZIR
Ekonomi kata (word economy) sangat diperlukan untuk membentuk bahasa jurnalistik yang lebih efisien (hemat dan jelas).
Kita tidak menulis “agar supaya”, tetapi cukup satu perkataan saja, “agar” atau “supaya”. Kita selalu berusaha menulis dengan kalimat pendek, tidak dengan kalimat majemuk. Kita juga mesti menghilangkan ungkapan atau peribahasa.
Berkaitan dengan efisiensi pula, bahasa jurnalistik selalu membuang kata mubazir. Kata mubazir ialah kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Kata mubazir ialah kata yang sifatnya tarasa berlebih-lebihan. Kata mubazir ialah kata yang bila dihilangkan dari sebuah kalimat malahan akan membantu memperlancar jalan bahasa dan membuat kalimat itu lebih kuat kesannya.
Kata-kata yang digarisbawahi dalam kalimat-kalimat berikut ini ialah kata mubazir yang lebih baik jika dihilangkan saja.
1. Ismail menjelaskan bahwa pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
2. Pernyataan dari/daripada pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu adalah merupakan suatu pernyataan yang keliru.
3. Ratusan pelajar telah menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
4. Budi Anduk menyatakan bahwa ia akan siap untuk memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
5. Unila sedang nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan-kegiatan Dies Natalis.
Kalimat-kalimat di atas akan lebih baik jika dibuat:
1. Ismail menjelaskan, pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
2. Penyataan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu suatu kekeliruan.
3. Ratusan pelajar menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
4. Budi Anduk menyatakan siap memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
5. a. Unila nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan Dies Natalis.
b. Unila nampak sibuk menggelar kegiatan-kegiatan Dies Natalis.
Dengan demikian, kita telah berkenalan dengan beberapa kata mubazir seperti “adalah” (kata kopula), “telah”, “sedang”, dan “akan” (pengaruh tenses dalam bahasa Inggris); “untuk” (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris); “dari” dan “daripada” (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik); bahwa (sebagai kata sambung); dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
TERAS BERITA
Teras berita ialah istilah yang ditetapkan kantor berita Antara sebagai terjemahan kata Inggris “lead“. Ada juga yang menyebutnya dengan “intro”. Teras berita merupakan bagian yang penting. Karena itu ia harus menarik. Caranya ialah menulis dengan kalimat pendek-pendek.
Buku Tata Penulisan Berita, Suatu Style Book yang diterbitkan Antara tahun 1977 menyebutkan teras berita harus mudah ditangkap dan singkat padat, serta kalimat-kalimatnya sederhana, tidak berbelit-belit.
Sebaiknya, dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, teras berita jangan mengandung lebih dari 30 dan 45 perkataan. Apabila teras berita lebih singkat, misalnya 25 perkataan atau kurang dari itu, maka hal itu lebih baik.
KEPALA BERITA
Kepala berita (headline) kadang memunyai bahasanya sendiri. Di antaranya ialah kebiasaan menghilangkan bentuk awalan (prefix) agar judul berita lebih hidup. Kebiasaan ini tentu saja tidak boleh dibawa-bawa dalam menulis teras dan badan berita.
Kepala berita harus menceritakan intisari berita dalam bentuk ringkas dan padat, serta mencerminkan nada berita atau cerita; ditulis dalam bentuk kalimat aktif; dan membatasi diri pada fakta dalam berita atau cerita (kecuali untuk karangan khas atau feature).
KESALAHAN-KESALAHAN BAHASA
Kerancuan (Kontaminasi)
Kontaminasi ialah pencampuran dengan tidak sengaja. Pencampuran ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan karena membuat kalimat menjadi kacau (rancu). Contoh:
1. “untuk sementara waktu” mestinya “untuk sementara” atau “untuk beberapa waktu” (sementara = sedang, untuk beberapa waktu);
2. “sementara orang” mestinya “beberapa orang”
3. “selain daripada itu” mestinya “selain itu” atau “lain daripada itu”;
4. “dan lain sebagainya” mestinya “dan lain-lain” atau “dan sebagainya”;
5. “berhubung karena” mestinya “berhubung dengan” atau “karena”;
6. “demi untuk” mestinya “demi” saja atau “untuk” saja;
7. “agar supaya” mestinya “agar” saja atau “supaya” saja;
8. “Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
mestinya
“Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
atau
“Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 1 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
Subjek Jangan Sampai Hilang
Dalam menyusun kalimat jalanlah subyek menjadi hilang seperti kalimat: “Dengan keberhasilan kesebelasan Negerisakti memenangkan pertandingan melawan kesebelasan Sukamiskin itu, maka menempatkannya sebagai juara Bupati Pesawaran Cup tahun ini.”
Selain tidak bersubyek, kalimat di atas rancu. Kata “dengan” mesti ditiadakan, dan dengan demikian “keberhasilan kesebelasan Negerisakti memenangkan pertandingan melawan kesebelasan Sukamiskin” menjadi subyek kalimat. Kata “maka” juga harus dihilangkan karena bukan pada tempatnya. Kalimat di atas baiknya begini: “Keberhasilan kesebelasan Negerisakti melawan kesebelasan Sukamiskin menempatkannya sebagai juara Bupati Pesawaran Cup tahun ini.”
Kata ‘di mana’, ‘hal mana’, ‘yang mana’
Baik dalam bahasa percakapan maupun dalam bahasa tulisan, banyak kita jumpai kalimat relatif yang dihubungkan dengan kata-kata:
di mana; yang mana; hal mana; di atas mana; dari mana; dengan siapa.
Dengan tidak disadari kita terpengaruh oleh struktur bahasa asing. Kata-kata tersebut ialah kata ganti penghubung. Dalam bahasa Belanda kata-kata tersebut ialah:
wat; welke; waarop; waarcan; met wie.
Contoh:
1. Kantor di mana dia bekerja, tidak jauh dari rumahnya.
2. Keadaan di Iran sangar gawat, yang mana mengancam tahta Shah.
3. Daerah dari mana beras didatangkan terletak jauh di pedalaman.
4. Orang dengan siapa dia akan berunding ternyata bajingan.
5. Penyakit ityu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) di mana konsentrasi besar mereka di Vietnam.
Kalimat-kalimat di atas sebenarnya tidak mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat itu sebaiknya berbunyi:
1. Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
2. Keadaan di Iran sangat gawat, dan mengancam tahta Shah.
3. Daerah yang menghasilkan beras terletak jauh dari pedalaman.
4. Orang yang akan berunding dengan dia ternyata bajingan.
5. Penyakit itu berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI). Konsentrasi besar mereka ada di Vietnam.
Kata-kata Penat
Kata-kata penat (tired words) ialah kata-kata yang terlalu sering dipakai. Kata itu ke itu juga yang muncul sehingga membuat orang bosan membacanya.
Ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita misalnya, kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”, dan sebagainya.
Bentuk Aktif dan Pasif Disatukan
Disiplinkan pikiran supaya tidak mencampuradukkan bentik pasif (di-) dengan bentuk aktif (me-) dalam satu kalimat.
Contoh:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia, dibuka oleh Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
Teras berita ini mesti dipecah dalam dua kalimat:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia. Rapat kerja itu dibuka Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
Kata Depan atau Awalan?
Sering terjadi wartawan melakukan kesalahan dalam penulisan kata “di” dan “ke”. Kesulitan ini biasanya terletak pada kapan harus menulis kedua kata itu serangkai dan kapan mesti menulis terpisah dengan kata yang di belakangnya.
Untuk mengatasi kesulitan itu, kita harus dapat membedakan “di dan ke sebagai kata depan” dan “di- dan ke- sebagai awalan”. Jika ia berfungsi sebagai kata depan, maka penulisannya terpisah; tetapi jika berfungsi sebagai awalan, maka penulisannya serangkai dengan kata yang menyertainya.
Hiperkorek
Hiperkorek (bahasa Inggris: hypercorrect) berarti “melampaui batas tepat atau benar sehinga menjadi salah”.
Contoh:
1. “Dipakai tenaga akhli Amerika dengan memberikan gajih yang cukup tinggi.” Kata akhli harus ditulis ahli dan gajih menjadi gaji.
2. “Di lain fihak, perbedaan tingkat ekonomi yang menyolok itu, juga sering menimbulkan iri hati.” Kata fihak harus ditulis pihak.
BACAAN
Anwar Rosihan. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Yogyakarta: Media Abadi.
Badudu, J.S. 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: PT Gramedia.
Karzi, Udo Z., Ed. 1992. Jurnalistik Kampus. Bandar Lampung: UKM-PSKK Teknokra.
Patmono SK. 1990. Teknik Jurnalistik: Tuntunan Praktis Menjadi Wartawan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Poerwadarminta, WJS. 1979. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Yogyakarta: UP Indonesia.
Rahardi, Kunjana. 2006. Asyik Berbahasa Jurnalistik: Kalimat Jurnalistik dan Temali Masalahnya. Yogyakarta: Santusta.
Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Siregar, Ras. 1991. Bahasa Indonesia Jurnalistik. Jakarta: Pustaka Grafika.
* Makalah disampaikan untuk Seminar Kebahasaan yang diselenggarakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Kabupaten Pesawaran di SMPN 2 Negerikaton, Pesawaran, 28 Oktober 2010.
** Udo Z. Karzi, jurnalis, menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996). Menulis buku: Momentum (kumpulan sajak, 2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak bahasa Lampung, 2007).