Sobat, dalam kehidupan kita sehari-hari kita semua pasti akan membutuhkan
bantuan orang lain, entah itu dengan meminjam barang milik saudara kita yang
dapat kita manfaatkan atau meminta tolong terhadap tenaga orang-orang yang ada
di sekitar kita untuk membantu meringankan beban kita. Akan tetapi terkadang
sebagian orang hanya berniat mencari untung buat mereka sendiri dengan
merugikan hak saudaranya. Sehingga muamalah yang sebenarnya adalah sebuah bentuk tolong
menolong berubah menjadi sebuah kezaliman. Melihat kenyataan
yang Demikian itu adanya,
Berbagi adalah sebuah hal yang indah. Mari kita semua berbagi dalam hal yang bermanfaat.
Jumat, 06 Desember 2013
Selasa, 03 Desember 2013
Menikmati Tangisan Bidadari
Sosok misterius yang tengah duduk menikmati temaram cahaya
lampu ruangannya. Memainkan jemari mungilnya mengikuti alunan nada tak
berirama. Sesekali ia melirik ke arah jendela yang terbuka di belakangnya. Menunggu bidadari
pujaan hati turun menemui. Melalui lubang teralis mungil bersusun rapi.
Perasaannya mengatakan bahwa sang bidadari akan segera turun
dari tempat yang tinggi. Langit? Tapi, mungkinkah ia datang dengan sosoknya
yang sesungguhnya? Berkali-kali sosok misterius itu berharap akan melihat wujud
asli sang bidadari. Namun, tak lebih bagai seekor pungguk yang merindu bulan.
Pasukan angin semakin meyakinkan hati Si Misterius akan segera datang membawa semerbak
wangi sang bidadari. Namun, gulungan malam yang pekat semakin menghitam
lantaran gumpalan mendung berarak memenuhi ufuk. Terdengar gemuruh langit yang menahan
bidadari turun ke bumi. Semua meneriakinya, “Jangan turun...!!!” Walau hanya
sekadar menemui sosok misterius yang sedari tadi menunggu kehadirannya di atas
kursi hijau. Walau barang sesaat. Walau barang sekejap.
Bidadari dilarang turun ke bumi! Langit semakin ribut dengan
suara-suaranya. Kilatan pedang penjaga langit pun berkelebat menambah cekam
suasana. Napas si misterius dihela panjang... panjang..... panjang.... dalam. Firasatnya mengatakan bidadari seperti biasanya tak diizinkan pergi.
Anak-anak angin berseliweran menambah keributan. Sampai
akhirnya,...... suasana pecah! Air mata bidadari turun menguntai, laksana butiran
mutiara pulau Gili. Jatuh berderai susul-menyusul memeluk bumi yang sedari tadi
merindu. Kaca danau perasaannya yang membeku pun pecah menahan badai rindu yang menghempasnya keras.
Semua berbahagia menikmati tangisan bidadari, kecuali Si Misterius yang masih terpaku di depan istri keduanya. Mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Dingin.
#Hujan_Malam_Hari
Jodohku di THR Surabaya (bag. Terakhir)
Rekan seperjuangan
= motivator = kompor
Si Kribo punya kawan, Si Kacamata
namanya. Walau keduanya berasal dari generasi yang berbeda, namun aroma
persahabatan keduanya terasa sangat kental, seperti Capuccino Itali. Susah
senang telah banyak menghiasi bingkai prejalanan persahabatan mereka. Lantas,
apa hubungannya? Tenang saja, Kawan.
Si Kacamata yang memang sudah berumur,
meniatkan diri untuk tidak neko-neko mencari gebetan. Kalau bisa cari yang
berkelas sekalian, tapi untuk selamanya. Buat apa gonta-ganti pasangan. Dan
lagi-lagi, saya yang dipilihnya sebagai konsultan jodoh pribadinya.
(Parah...!!!)
Sebenarnya, Si Kacamata juga pernah merasakan
patah hati
Jodohku di THR Surabaya (bag. III)
Elegi Cinta
Si Kribo (TRAGIS.... )
Hari-hari
indah dilalui oleh Si Ganteng dan Dianna, pasangan barunya. Penjajagan lebih
mendalam dilaksanakan dengan amat baik oleh temanku itu. Kalaupun ia merasa
kurang paham bagaimana berinteraksi secara romantis dengan pasangan barunya,
tak sungkan-sungkan ia bertanya kepadaku.... J Maklum lah, walau begini ini secara
pengalaman aku tetap seniornya, diakui ataupun tidak.
Ikut senang rasanya melihat pasangan
baru tersebut mengikat rasa, memadu janji untuk setia dalam kebaikan. Ah....
memang hidup serba dipenuhi kejutan.
Lain dengan Si Ganteng. Temanku yang
lain, sebut saja Si Kribo. Dia lagi galau tingkat tinggi sama 2 gebetannya.
Jodohku di THR Surabaya (bag. II)
Menurut profil yang dibacanya di internet,
nama akun sang pujaan hati adalah Diannao Lenovo. Sapaannya
Dianna. Wah...wah..... kok kayak orang luar sih? Emang bener. Si
Do’i ternyata blasteran Amrik-China. Tapi tenang saja, dia sudah lumayan lama
tinggal di Indonesia kok, sudah lebih dari 5 tahun. Tentunya dia sudah sangat
familiar dengan hawa Indonesia yang ramah dan terkadang rese.
Jodohku di THR Surabaya (bag. I)
Sabtu, 5 Oktober 2013. Udara pagi
kota Surabaya memang tidak seperti biasanya. Setidaknya itu yang kurasa. Saat
Si Cantik Putih Metalik melenggang bersama kami di jalanan ibu kota Jawa Timur
itu dengan santainya, bak tamu undangan Hollywood melenggang di atas
karpet merah. Awal niatan perjalanan kali itu hanya untuk membunuh rasa
penasaranku terhadap eksotisme Pulau Garam yang katanya memikat.
Tak tahunya, di tengah perjalanan
aku baru menyadari jika niat jalan-jalan saat itu dirapel. Ibarat sambil
menyelam minum air dan nyari helm. Hehehe.......
Ta’aruf “Si
Ganteng” yang super singkat
Siapa yang tidak deg-degan bila
menghadapi kata “akad”? Apalagi kaum lelaki yang memang memiliki banyak
konsekuensi hidup setelahnya. Tapi, ya sudahlah... toh mau tak mau juga harus
dihadapi dengan lapang dada dan ksatria. Sudah suratan takdir.
Dalam perjalanan kali ini,
Fatimah binti Khaththab -radhiyallahu 'anha- Wanita yang mengislamkan Khalifah Umar [1]
Fatimah adalah saudari
Umar bin Kaththab. Seorang wanita terhormat dari kabilah Quraisy. Sedangkan
suaminya dalah Sa’id bin Zaid bin Amru, saru dari sepuluh sahabat yang
dijanjikan oleh Rasulullah pasti masuk surga.
Kepergian Rasulullah menggoreskan kesedihan mendalam[1]
Saat datang Rabi’ul Awal, banyak orang yang
merayakan maulid. Namun tak banyak dijumpai orang-orang yang mengingat bahwa hari itu pula
kematian Rasulullah. Terlebih mengingat wasiat-wasiat perpisahan beliau
sebelum menuju ke ribaan-Nya. Padahal, bila kecintaan kita terhadap beliau adalah
tulus, niscaya kita akan selalu mengingat apa yang telah beliau wasiatkan.
Dari sini kisah itu
dimulai
Tahun pertama hijriah. Kota
Madinah yang telah lama gersang mendadak tersenyum simpul. Semua yang ada di
dalam kota berseri menyambut kedatangan seorang yang mulia. Pohon-pohon, bebatuan, arakan awan dan para
penduduknya. Semua berbahagia dengan kedatangan tamu agung dari kota Makkah
yang suci.[2] Rasulullah
Muhammad.
Madinah
pun mendapat julukan baru, menjadi “Thaybah” (yang baik)
semenjak itu. Suka, duka, pahit getir perjuangan mempertahankan agama serta
beratnya menjaga keimanan telah Rasulullah dan para sahabat lalui dengan
tabah. Sembari menyebarkan Islam ke penjuru jazirah Arab pasca Perjanjian
Hudaibiyah. Para sahabat dengan sangat yakin dan sabar menanti janji Allah
yang akan membawakan kemenangan ke pangkuan. Hingga akhirnya, kota Makkah berhasil dibebaskan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hanya kurang dari satu setengah
windu kebahagiaan itu harus rela dicabut lagi oleh-Nya. Berpulangnya Rasulullah
ke ribaan Ilahi telah memupuskan semua kebahagiaan yang telah diukir oleh zaman
itu.
Ketika kaum muslimin
mengharubiru menyambut kemenangan di depan mata pasca pembebasan Makkah, di
sisi lainnya,
fakta pahit harus pula mereka terima. Dengan berhasilnya kaum muslimin
membebaskan Makkah dari cengkeraman jahiliah dan banyak kabilah Arab datang memeluk Islam,
berarti kaum muslimin telah menang.[3] Bila demikian,
tugas Rasulullah pun akan selesai. Bila tugas itu selesai, pertanda ajal
Rasulullah semakin dekat.
Suatu ketika, seusai shalat Shubuh, Rasulullah membalikkan
badan ke arah jama’ah, lalu menasihati mereka. ‘Irbadh
bin Sariyah menceritakan suasana pagi
itu, “Suatu hari Rasulullah pernah mewasiati kami dengan wasiat yang membuat hati
bergetar dan air mata bercucuran. Seakan itulah nasihat orang yang akan berpisah!”[4] Betapa dalam dan pekanya hati para sahabat,
sehingga dapat merasakan tanda dekatnya kepergian seorang yang selama ini
mereka cintai.
Dalamnya luka kehilangan Rasulullah
Kematian
Rasulullah adalah sebuah pukulan yang menghantam hebat dada-dada para sahabat.
Tidak sedikit di antara mereka yang tidak percaya dengan
kebenarannya. Sampaipun Umar
yang seorang al-mulham (diberi
ilham) kandas diterjang badai kesedihan. Ketika menemani Rasulullah dalam Haji
Wada’, Umar berfirasat bahwa ajal Rasulullah semakin dekat, lantaran Islam
telah sempurna menurut ayat ketiga dari surat al-Ma’idah yang barusan turun. “Wahai
Rasulullah, kita sekarang berada pada fase penambahan (syariat) dalam agama
kita, hingga bila agama itu telah sempurna, bukankah setelah itu hanya ada kekurangan?”
tanya Umar. “Benar sekali, Umar,” jawab Rasulullah. Umar pun menangis
sejadi-jadinya karena mengetahui bahwa tugas Rasulullah akan berakhir cepat.[5]
Tapi
percayalah, Umarlah orang yang pertama kali mengatakan saat hari
kematian Rasul, “Wahai
sekalian manusia, tahanlah lisan-lisan kalian terhadap Nabi!, sesungguhnya Nabi
tidaklah mati, tetapi beliau akan kembali sebagaimana Musa kembali kepada
kaumnya. Wallahi, tidaklah aku sampai mendengar ada orang yang berani menyebut
Rasulullah bahwa beliau telah wafat, melainkan akan aku tebas dengan pedangku
ini!” Padahal ia telah berfirasat bahwa Rasulullah juga akan berpulang kepada-Nya. namun,
Allah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi satu-satunya orang yang bertahan
saat semua sahabat limbung dengan kabar kematian Rasul.
Abu Bakar
yang baru saja mengecup kening Rasulullah yang terakhir kalinya di rumah
Aisyah harus berkhotbah kepada
manusia dengan membacakan ayat 144 dari surat Ali ‘Imran, bahwa
Rasul benar-benar telah tiada. Setelah Umar mendengar ayat tadi, lunglai lutut
Umar menahan badannya. Ia pun pasrah bila Rasulullah memang benar-benar telah
tiada.
Begitu hebat
luka yang ditorehkan peristiwa
ini sehingga tak bisa dibalut. Jangankan
para sahabat yang merupakan manusia, bahkan Madinah menjadi gelap tatkala
Rasulullah wafat.[6]
Hati manakah
yang tidak pilu jika mengingat jasa-jasa beliau yang begitu melimpah? Dengan sebab
beliaulah kita mengenal Islam sebagai
jalan menuju surga-Nya,
dengan sebab beliau, Allah
berkenan mengaruniakan rahmat-Nya kepada umat ini, dan dengan sebab beliau juga Allah
bersedia menangguhkan adzab-Nya atas umat ini. Jadi pantaslah bila bersedih
dengan kepergian beliau, hanya saja dalam kita bersedih ini kita tetap tidak
akan mengucapkan perkataan kecuali yang diridhai oleh Allah.
Wasiat Rasulullah sebelum berpisah
Saudaraku,
sebelum wafatnya, Rasulullah menyempatkan dalam saat-saat genting tersebut untuk berwasiat
kepada kita selaku umat yang sangat dicintai oleh beliau. Di antara wasiat yang
telah diberikan oleh Rasulullah kepada kita adalah:
1.
Agar
menjaga shalat dan hamba sahaya yang dimiliki. Rasulullah bersabda, “Jagalah shalat dan hamba sahaya yang kalian
miliki!”[7]
2.
Agar tidak
menjadikan kuburan beliau sebagai berhala yang disembah. Ketika berkhotbah beliau melaknat Yahudi dan
Nasrani yang menjadikan kuburan orang-orang shalih di antara mereka sebagai
tempat beribadah. Beliau juga berdoa, “Ya Allah, janganlah jadikan kuburanku
ini sebagai berhala yang disembah.”[8]
3.
Agar taat kepada pemimpin, walau seorang yang dianggap rendah.[9]
4.
Wasiat Rasulullah untuk orang Anshar, agar memaafkan dan berbuat baik
kepada mereka karena telah berkorban sangat banyak demi Islam.
5.
Wasiat agar tidak mengubah-ubah tatanan agama lagi, sebagaimana yang
tertera dalam lanjutan hadits ‘Irbadh bin Sariyah.
Epilog
Saudaraku, banyak kegembiraan menghiasi Rabi’ul Awal
karena mengingat kelahiran Rasul yang agung. Namun, sedikit sekali yang
bersedih dan mengingat wasiat-wasiat perpisahan yang telah beliau tuturkan
sebelum berpulang.
Saudaraku, bila dahulu para sahabat berselisih,
mereka kembalikan kepada Rasulullah dan masalah pun selesai. Bila mereka
kesulitan mereka adukan kepada Rasulullah dan kesulitan pun terpecahkan. Bila
ada yang lemah semangatnya dalam beribadah, Rasulullah juga yang menjadi
motivatornya. Dahulu Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai penghubung langsung
antara Dia -azza wa jalla- dan hamba-Nya. Sekarang, penghubung itu telah tiada. Kita harus
berusaha sendiri menghadapi perselisihan yang tak pernah terselesaikan,
menghadapi kesulitan yang terus menerus datang. Karena itulah, Rasulullah
berwasiat dengan wasiat perpisahan, karena yakin bahwa umatnya kelak akan
mengalami kemerosotan.
Saudaraku, mungkin inilah maksud dari sabda Rasulullah tentang musibah
kematian beliau. Karena dengan kematian Nabi, terputuslah semua wahyu, manusia
bekerja sendiri mencari jalan kebenaran, tidak hakim yang memutuskan lagi,
tidak ada motivator yang sangat mumpuni, yang tatkala menasihati tentang surga
dan neraka, seakan neraka dan surga hadir di depan mata.
“Jika
salah satu di antara kalian tertimpa musibah, hendaknya ia membandingkan
musibah yang telah ia dapat denganku (kematianku), sesungguhnya itu adalah
musibah yang terbesar.”[10]
Saudaraku, mari kita jaga agama ini dengan
melaksanakan wasiat Rasulullah di atas. Jangan malah kita tambahi kesedihan
akan kematian Rasul dengan berbagai penyelisihan terhadap ajaran yang beliau
bawa. Walau kadang langkah terseok tak kuasa menahan beban, namun semoga Allah
memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa meniti jalan-Nya hingga menutup
mata. Amin.
[1] Tulisan ini banyak mengambil manfaat dari kitab Salwatu al-Ka’ib bi
Wafat al-Habib, kar. Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi, ar-Rahiq al-Makhtum,
kar. Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, as-Sirah an-Nabawiyah, kar. Dr.
Mahdi Rizqullah dan yang lainnya.
[2] Sebagaimana tertera dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 8/158, dari jalan
Ibnu Abbas.
[3] Sebagaimana tersebut dalam QS. an-Nashr.
[4] HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi.
[5] Salwatu al-Ka’ib: 5.
[6] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dari jalan Anas bin Malik. (al-Bidayah
8/158)
[7] HR. Ahmad 3/117 dengan sanad yang shahih, sebagaimana dalam as-Sirah an-Nabawiyah,
Dr. Mahdi: 657.
[8] HR. Malik dalam al-Muwaththa’: 365.
[9] Hadits ‘Irbadh bin Sariyah.
[10] Hadits shahih. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no: 1106.
Rabu, 25 September 2013
Apa yang Tersembunyi di Balik Gelar Haji?
Entah mulai kapan masyarakat
muslim di Indonesia khususnya (atau bahkan negara Asia Tenggara) sangat
menyukai dan memandang tinggi gelar “Haji”. Bahkan untuk menunjukkan status
“terhormat” tersebut tak segan-segan mereka menggunakan berbagai macam tanda
yang memungkinkan mereka dikenali oleh orang banyak. Peci putih, serban, selalu
memakai jubah padahal sebelumnya tidak pernah, sampai-sampai yang putri juga
memakai jilbab khusus “Bu Haji” dan yang selainnya.
Ada yang merasa tidak senang bila ada orang yang
memanggilnya dengan menyebut nama saja tanpa menambahkan gelar haji atau hajah di
depannya. Demikian pun saat ada seminar sampai kampanye, gelar yang satu ini tak lupa disematkan.
Seakan rasanya kurang afdhal bila orang yang sudah pernah pergi ke Makkah
berhaji saat pulang tidak disemati dengan gelar ini.
Apalagi
dalam dunia dakwah, seakan gelar haji menjadi sebuah kewajiban dari sosok
seorang ustadz. Dan di antara pengalaman nyata yang dialami oleh teman penulis,
saat beliau mengimami shalat ‘Id dan memberikan khotbah di sebuah kota, narator
yang memimpin acara memberitahukan kepada para jamaah bahwa yang akan bertindak
sebagai khatib saat itu adalah Haji Fulan (menyebut nama teman saya). Alangkah
kagetnya saat teman saya mendengarnya. Karena memang ia belum pernah pergi
berhaji. Allahul musta’an........
Sejarah singkat munculnya gelar
haji[1]
Ibadah haji memang mulia. Bahkan bagi wanita, ibadah haji
adalah jihad mereka. Kendati demikian, tidak dikenal pada masa para sahabat atau
tiga generasi awal yang menggelari diri mereka dengan sebutan Haji Fulan atau
Hajah Fulanah.
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu
Zaid v\ menerangkan[2], “Adapun
menjadikan (gelar haji) sebagai gelar keislaman bagi setiap orang yang berhaji,
maka hal itu tidaklah dikenal pada kalangan generasi-generasi terbaik. Dan para
ulama sudah membahas hukum memanggil orang (muslim) yang sudah berhaji atau
seorang kafir dzimmi (yang sudah berziarah ke Baitul Maqdis atau tempat suci
mereka) dengan panggilan ‘Haji’.”
Entah
mulai semenjak kapan sebutan “Haji” ini mulai dibanggakan di tanah air dan atas
sebab apa gelar itu sangat dibanggakan. Namun beberapa sumber sejarah dan
tulisan tentangnya menyimpulkan bahwa mungkin saja karena biaya yang tidak
sedikit dan perjuangan keras untuk bisa sampai ke Makkah dan kembali dengan
selamat menjadikan ibadah ini bernilai sangat “eksklusif” yang akhirnya harus
dibanggakan.
Dalam al-Bidayah
wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir, penyebutan gelar “Haji Fulan” pertama kali
disebut pada tahun 660-an Hijriah, dengan nama “Haji Nashr bin Tarsus”, seorang
pedagang yang shalih dan dermawan (662 H). Dan yang termasuk dikenal memiliki
gelar ini adalah ayah Imam an-Nawawi, Haji Syaraf bin Mira (685 H).
Adapun penggunaan gelar ini di Indonesia (nusantara)
sudah dipakai semenjak sebelum kedatangan penjajah Eropa. Dan bukanlah orang sembarangan
yang dapat memakai gelar ini, hanya keluarga kerajaan yang sudah masuk Islam
atau orang yang benar-benar berharta yang dapat menunaikan haji.
Seiring
berjalannya waktu, saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan VOC, maka penyematan
gelar “Haji” pada nama-nama orang Indonesia di masa penjajahan itu karena
didasari siasat politik. Maksudnya, karena rata-rata orang yang pergi berhaji
saat itu memiliki semangat berjuang melepaskan diri dari penjajah, maka pihak
Belanda mewajibkan penyematan gelar “Haji” pada setiap nama yang pernah berhaji
ke Makkah al-Mukarramah. Itu dilakukan supaya memudahkan pengontrolan
gerakan-gerakan yang kiranya nanti dilakukan oleh para haji tersebut. Ketentuan
ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa bukan kebahagiaan bila harus menyandang
gelar “H” di depan namanya saat itu. Namun lebih terkesan seperti DPO. Mengherankan.
Sekarang gelar ini dijadikan barang buruan dalam masyarakat muslim sekarang
ini.
Gelar “Haji” rentan riya’ dan
ujub
Saudaraku, perintah utama kita dari Allah untuk kita yang
masih hidup di dunia ini adalah mengikhlaskan segala ibadah kita hanya kepada
Allah q\ semata. Karena Allah tidak akan pernah menerima ibadah yang tidak
murni diperuntukkan kepada-Nya. Untuk menjaga kemurnian ini Rasulullah n\ sudah
mengingatkan umatnya agar mewaspadai penyakit yang dapat merusak kemurnian
ibadah kita. Penyakit itu bernama riya’. Penyakit ini sangat samar dan bisa
masuk dalam semua ibadah. Tak terkecuali dalam ibadah haji. Apalagi berhaji
tidak semua orang mampu melaksanakannya dan di zaman dahulu hanya orang-orang yang benar-benar
kaya saja yang mampu melaksanakannya. Rasulullah n\ bersabda,
“Sesungguhnya
yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Rasulullah menjawab, “Itu
adalah riya’. Allah nanti akan berkata pada hari amalan hamba dibalasi,
‘Pergilah kepada orang-orang yang kamu riya’i dengan amalmu semasa di dunia!
Lihatlah, apakah engkau akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!’”
(HR. Ahmad: 23686, dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
Kebolehan
memanggil orang yang telah menunaikan ibadah haji memang diperselisihkan oleh
para ulama. Karena bagaimanapun juga dari sisi bahasa sebutan “Haji” adalah
bagi orang yang melakukan manasik.
Imam
an-Nawawi dalam al-Majmu’[3]
mengatakan, “Boleh memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan Haji
setelah ia bertahalul, walaupun setelah selang beberapa tahun, atau bahkan
setelah wafatnya. Tidak dibenci dalam hal itu. Adapun riwayat yang dibawakan
oleh al-Baihaqi dari al-Qasim bin Abdirrahman dari Ibnu Mas’ud yang berkata, ‘Janganlah
kamu mengatakan sesungguhnya saya membujang, karena seorang muslim tidak
membujang. Dan janganlah kamu mengatakan saya haji, karena haji adalah untuk
orang yang sedang berihram.’ Maka itu (adalah riwayat) yang mauquf
dan munqathi’.”
Imam
an-Nawawi menjelaskan bahwa masalah ini bermula dari perselisihan ulama ushul
fikih, apakah disyaratkan saat kita menjuluki seseorang dengan sebuah gelar tatkala
melakukan pekerjaan tersebut? Atau boleh, walaupun sudah berlalu? Maka beliau
mengatakan, “Hal itu disyaratkan. Dan itulah madzhab kawan-kawan kami (ulama
Syafi’iyyah yang lain). Maka tidak bisa dijuluki ‘Pemukul’ setelah ia tidak
melakukan pemukulan, tidak juga bisa disebut sebagai ‘Haji’ setelah ia selesai
menjalankan ibadah itu, kecuali secara kiasan.”[4]
Ketika Lajnah Da’imah KSA yang
dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz v\ ditanya tentang kebiasaan seseorang memanggil
orang yang telah berhaji dengan sebutan “Sayyid” atau “Haji” menurut hukum syariat,
maka komite fatwa menyatakan (nomor
fatwa: 17797), “Dibenci mengucapkan panggilan “Sayyid” atau “Haji” (terhadap
orang yang melaksanakan haji) karena terdapat riwayat dari Nabi n\ yang
menunjukkan atas dibencinya hal itu. Dan
yang diperintahkan adalah memanggil dengan nama atau kun-yahnya, atau
memanggilnya dengan sebutan “saudaraku” jika ia orang muslim. Adapun memanggil
orang yang sudah berhaji dengan sebutan “Haji” maka lebih baik ditinggalkan,
karena melakukan ibadah yang wajib tidak menghasilkan nama atau gelar. Akan
tetapi menghasilkan pahala dari Allah q\ bagi orang yang diterima amalnya. Dan
setiap muslim wajib untuk tidak menggantungkan dirinya pada hal-hal semacam ini
supaya niatnya ikhlas karena Allah.”
Namun
demikian, bila ada seorang juru dakwah yang kurang bisa diterima di dalam sebagian
masyarakat yang memandang haji bagi ustadz adalah sebuah kelaziman, maka tidak
mengapa menyematkan gelar haji pada namanya kalau dirinya memang benar-benar
telah berhaji. Dengan syarat, ia harus tetap memperhatikan kemurnian niat saat
berdakwah, karena memang masalah ini adalah masalah yang sangat berat. Wallahu
a’lam.
Penutup
Saudaraku,
keikhlasan memanglah berat. Tak segampang mengucapkan katanya. Karena itu,
hendaknya kita tidak terlalu husnuzhan (berbaik sangka) terhadap diri
kita sendiri. Karena bagaimanapun juga setan telah berpengalaman selama
bertahun-tahun menyesatkan manusia melalui celah ujub dan riya’.
Sufyan ats-Tsauri pernah
mengatakan, “Aku tidak pernah merasakan kesulitan yang lebih berat dalam
memperbaiki sesuatu kecuali pada niatku. Sekali waktu ia akan baik, sekali
waktu ia buruk.”[5]
[1] Disarikan dari Mu’jam
al-Manahi al-Lafzhiyyah, Wikipedia, al-Bidayah wan Nihayah, http://dhekkazone.blogspot.com/2012/11/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia.html dan sumber
lain.
Langganan:
Postingan (Atom)