Jumat, 06 Desember 2013

Fikih dan Adab Meminjam Barang




                Sobat, dalam kehidupan kita sehari-hari kita semua pasti akan membutuhkan bantuan orang lain, entah itu dengan meminjam barang milik saudara kita yang dapat kita manfaatkan atau meminta tolong terhadap tenaga orang-orang yang ada di sekitar kita untuk membantu meringankan beban kita. Akan tetapi terkadang sebagian orang hanya berniat mencari untung buat mereka sendiri dengan merugikan hak saudaranya. Sehingga muamalah yang sebenarnya adalah sebuah bentuk tolong menolong berubah menjadi sebuah kezaliman. Melihat kenyataan yang Demikian itu adanya,

Selasa, 03 Desember 2013

Menikmati Tangisan Bidadari




         
Angin berhembus cukup kencang, Kawan. Namun tak cukup mendinginkan suasana hati seorang misterius yang sedari tadi duduk di atas kursi hijau.

Sosok misterius yang tengah duduk menikmati temaram cahaya lampu ruangannya. Memainkan jemari mungilnya mengikuti alunan nada tak berirama. Sesekali ia melirik ke arah jendela yang terbuka di belakangnya. Menunggu bidadari pujaan hati turun menemui. Melalui lubang teralis mungil bersusun rapi.

Perasaannya mengatakan bahwa sang bidadari akan segera turun dari tempat yang tinggi. Langit? Tapi, mungkinkah ia datang dengan sosoknya yang sesungguhnya? Berkali-kali sosok misterius itu berharap akan melihat wujud asli sang bidadari. Namun, tak lebih bagai seekor pungguk yang merindu bulan.

Pasukan angin semakin meyakinkan hati Si Misterius akan segera datang membawa semerbak wangi sang bidadari. Namun, gulungan malam yang pekat semakin menghitam lantaran gumpalan mendung berarak memenuhi ufuk. Terdengar gemuruh langit yang menahan bidadari turun ke bumi. Semua meneriakinya, “Jangan turun...!!!” Walau hanya sekadar menemui sosok misterius yang sedari tadi menunggu kehadirannya di atas kursi hijau. Walau barang sesaat. Walau barang sekejap.

Bidadari dilarang turun ke bumi! Langit semakin ribut dengan suara-suaranya. Kilatan pedang penjaga langit pun berkelebat menambah cekam suasana. Napas si misterius dihela panjang... panjang..... panjang.... dalam. Firasatnya mengatakan bidadari seperti biasanya tak diizinkan pergi.

Anak-anak angin berseliweran menambah keributan. Sampai akhirnya,...... suasana pecah! Air mata bidadari turun menguntai, laksana butiran mutiara pulau Gili. Jatuh berderai susul-menyusul memeluk bumi yang sedari tadi merindu. Kaca danau perasaannya yang membeku pun pecah menahan badai rindu yang menghempasnya keras.

Semua berbahagia menikmati tangisan bidadari, kecuali Si Misterius yang masih terpaku di depan istri keduanya. Mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Dingin.

#Hujan_Malam_Hari

Jodohku di THR Surabaya (bag. Terakhir)




Rekan seperjuangan = motivator = kompor
          Si Kribo punya kawan, Si Kacamata namanya. Walau keduanya berasal dari generasi yang berbeda, namun aroma persahabatan keduanya terasa sangat kental, seperti Capuccino Itali. Susah senang telah banyak menghiasi bingkai prejalanan persahabatan mereka. Lantas, apa hubungannya? Tenang saja, Kawan.

          Si Kacamata yang memang sudah berumur, meniatkan diri untuk tidak neko-neko mencari gebetan. Kalau bisa cari yang berkelas sekalian, tapi untuk selamanya. Buat apa gonta-ganti pasangan. Dan lagi-lagi, saya yang dipilihnya sebagai konsultan jodoh pribadinya. (Parah...!!!)
          Sebenarnya, Si Kacamata juga pernah merasakan patah hati

Jodohku di THR Surabaya (bag. III)




Elegi Cinta Si Kribo (TRAGIS.... )
            Hari-hari indah dilalui oleh Si Ganteng dan Dianna, pasangan barunya. Penjajagan lebih mendalam dilaksanakan dengan amat baik oleh temanku itu. Kalaupun ia merasa kurang paham bagaimana berinteraksi secara romantis dengan pasangan barunya, tak sungkan-sungkan ia bertanya kepadaku.... J Maklum lah, walau begini ini secara pengalaman aku tetap seniornya, diakui ataupun tidak. 

          Ikut senang rasanya melihat pasangan baru tersebut mengikat rasa, memadu janji untuk setia dalam kebaikan. Ah.... memang hidup serba dipenuhi kejutan.
          Lain dengan Si Ganteng. Temanku yang lain, sebut saja Si Kribo. Dia lagi galau tingkat tinggi sama 2 gebetannya.

Jodohku di THR Surabaya (bag. II)




Kejutan saat mencari jodoh
           Menurut profil yang dibacanya di internet, nama akun sang pujaan hati adalah Diannao Lenovo. Sapaannya Dianna. Wah...wah..... kok kayak orang luar sih? Emang bener. Si Do’i ternyata blasteran Amrik-China. Tapi tenang saja, dia sudah lumayan lama tinggal di Indonesia kok, sudah lebih dari 5 tahun. Tentunya dia sudah sangat familiar dengan hawa Indonesia yang ramah dan terkadang rese. 

Jodohku di THR Surabaya (bag. I)




            Sabtu, 5 Oktober 2013. Udara pagi kota Surabaya memang tidak seperti biasanya. Setidaknya itu yang kurasa. Saat Si Cantik Putih Metalik melenggang bersama kami di jalanan ibu kota Jawa Timur itu dengan santainya, bak tamu undangan Hollywood melenggang di atas karpet merah. Awal niatan perjalanan kali itu hanya untuk membunuh rasa penasaranku terhadap eksotisme Pulau Garam yang katanya memikat.

            Tak tahunya, di tengah perjalanan aku baru menyadari jika niat jalan-jalan saat itu dirapel. Ibarat sambil menyelam minum air dan nyari helm. Hehehe.......



Ta’aruf “Si Ganteng” yang super singkat

            Siapa yang tidak deg-degan bila menghadapi kata “akad”? Apalagi kaum lelaki yang memang memiliki banyak konsekuensi hidup setelahnya. Tapi, ya sudahlah... toh mau tak mau juga harus dihadapi dengan lapang dada dan ksatria. Sudah suratan takdir.

            Dalam perjalanan kali ini,

Fatimah binti Khaththab -radhiyallahu 'anha- Wanita yang mengislamkan Khalifah Umar [1]



           


      Fatimah adalah saudari Umar bin Kaththab. Seorang wanita terhormat dari kabilah Quraisy. Sedangkan suaminya dalah Sa’id bin Zaid bin Amru, saru dari sepuluh sahabat yang dijanjikan oleh Rasulullah pasti masuk surga.

Kepergian Rasulullah menggoreskan kesedihan mendalam[1]




                Saat datang Rabi’ul Awal, banyak orang yang merayakan maulid. Namun tak banyak dijumpai orang-orang yang mengingat bahwa hari itu pula kematian Rasulullah. Terlebih mengingat wasiat-wasiat perpisahan beliau sebelum menuju ke ribaan-Nya. Padahal, bila kecintaan kita terhadap beliau adalah tulus, niscaya kita akan selalu mengingat apa yang telah beliau wasiatkan.

Dari sini kisah itu dimulai
                Tahun pertama hijriah. Kota Madinah yang telah lama gersang mendadak tersenyum simpul. Semua yang ada di dalam kota berseri menyambut kedatangan seorang yang mulia. Pohon-pohon, bebatuan, arakan awan dan para penduduknya. Semua berbahagia dengan kedatangan tamu agung dari kota Makkah yang suci.[2] Rasulullah Muhammad.
                Madinah pun mendapat julukan baru, menjadi “Thaybah” (yang baik) semenjak itu. Suka, duka, pahit getir perjuangan mempertahankan agama serta beratnya menjaga keimanan telah Rasulullah dan para sahabat lalui dengan tabah. Sembari menyebarkan Islam ke penjuru jazirah Arab pasca Perjanjian Hudaibiyah. Para sahabat dengan sangat yakin dan sabar menanti janji Allah yang akan membawakan kemenangan ke pangkuan. Hingga akhirnya, kota Makkah berhasil dibebaskan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hanya kurang dari satu setengah windu kebahagiaan itu harus rela dicabut lagi oleh-Nya. Berpulangnya Rasulullah ke ribaan Ilahi telah memupuskan semua kebahagiaan yang telah diukir oleh zaman itu.
                Ketika kaum muslimin mengharubiru menyambut kemenangan di depan mata pasca pembebasan Makkah, di sisi lainnya, fakta pahit harus pula mereka terima. Dengan berhasilnya kaum muslimin membebaskan Makkah dari cengkeraman jahiliah dan banyak kabilah Arab datang memeluk Islam, berarti kaum muslimin telah menang.[3] Bila demikian, tugas Rasulullah pun akan selesai. Bila tugas itu selesai, pertanda ajal Rasulullah semakin dekat.
                Suatu ketika, seusai shalat Shubuh, Rasulullah membalikkan badan ke arah jama’ah, lalu menasihati mereka. ‘Irbadh bin Sariyah  menceritakan suasana pagi itu,Suatu hari Rasulullah pernah mewasiati kami dengan wasiat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Seakan itulah nasihat orang yang akan berpisah!”[4] Betapa dalam dan pekanya hati para sahabat, sehingga dapat merasakan tanda dekatnya kepergian seorang yang selama ini mereka cintai.

Dalamnya luka kehilangan Rasulullah
Kematian Rasulullah adalah sebuah pukulan yang menghantam hebat dada-dada para sahabat. Tidak sedikit di antara mereka yang tidak percaya dengan kebenarannya. Sampaipun Umar yang seorang al-mulham (diberi ilham) kandas diterjang badai kesedihan. Ketika menemani Rasulullah dalam Haji Wada’, Umar berfirasat bahwa ajal Rasulullah semakin dekat, lantaran Islam telah sempurna menurut ayat ketiga dari surat al-Ma’idah yang barusan turun. “Wahai Rasulullah, kita sekarang berada pada fase penambahan (syariat) dalam agama kita, hingga bila agama itu telah sempurna, bukankah setelah itu hanya ada kekurangan?” tanya Umar. “Benar sekali, Umar,” jawab Rasulullah. Umar pun menangis sejadi-jadinya karena mengetahui bahwa tugas Rasulullah akan berakhir cepat.[5]
Tapi percayalah, Umarlah orang yang pertama kali mengatakan saat hari kematian Rasul, “Wahai sekalian manusia, tahanlah lisan-lisan kalian terhadap Nabi!, sesungguhnya Nabi tidaklah mati, tetapi beliau akan kembali sebagaimana Musa kembali kepada kaumnya. Wallahi, tidaklah aku sampai mendengar ada orang yang berani menyebut Rasulullah bahwa beliau telah wafat, melainkan akan aku tebas dengan pedangku ini!” Padahal ia telah berfirasat bahwa Rasulullah juga akan berpulang kepada-Nya. namun, Allah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi satu-satunya orang yang bertahan saat semua sahabat limbung dengan kabar kematian Rasul.
Abu Bakar yang baru saja mengecup kening Rasulullah yang terakhir kalinya di rumah Aisyah harus berkhotbah kepada manusia dengan membacakan ayat 144 dari surat Ali ‘Imran, bahwa Rasul benar-benar telah tiada. Setelah Umar mendengar ayat tadi, lunglai lutut Umar menahan badannya. Ia pun pasrah bila Rasulullah memang benar-benar telah tiada.
Begitu hebat luka yang ditorehkan peristiwa ini sehingga tak bisa dibalut. Jangankan para sahabat yang merupakan manusia, bahkan Madinah menjadi gelap tatkala Rasulullah wafat.[6]

Hati manakah yang tidak pilu jika mengingat jasa-jasa beliau yang begitu melimpah? Dengan sebab beliaulah kita mengenal Islam sebagai jalan menuju surga-Nya, dengan sebab beliau, Allah berkenan mengaruniakan rahmat-Nya kepada umat ini, dan dengan sebab beliau juga Allah bersedia menangguhkan adzab-Nya atas umat ini. Jadi pantaslah bila bersedih dengan kepergian beliau, hanya saja dalam kita bersedih ini kita tetap tidak akan mengucapkan perkataan kecuali yang diridhai oleh Allah.

Wasiat Rasulullah sebelum berpisah
                Saudaraku, sebelum wafatnya, Rasulullah menyempatkan dalam saat-saat genting tersebut untuk berwasiat kepada kita selaku umat yang sangat dicintai oleh beliau. Di antara wasiat yang telah diberikan oleh Rasulullah kepada kita adalah:
1.       Agar menjaga shalat dan hamba sahaya yang dimiliki. Rasulullah bersabda, “Jagalah shalat dan hamba sahaya yang kalian miliki![7]
2.       Agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai berhala yang disembah. Ketika berkhotbah beliau melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan orang-orang shalih di antara mereka sebagai tempat beribadah. Beliau juga berdoa, “Ya Allah, janganlah jadikan kuburanku ini sebagai berhala yang disembah.”[8]
3.       Agar taat kepada pemimpin, walau seorang yang dianggap rendah.[9]
4.       Wasiat Rasulullah untuk orang Anshar, agar memaafkan dan berbuat baik kepada mereka karena telah berkorban sangat banyak demi Islam.
5.       Wasiat agar tidak mengubah-ubah tatanan agama lagi, sebagaimana yang tertera dalam lanjutan hadits ‘Irbadh bin Sariyah.
Epilog
                Saudaraku, banyak kegembiraan menghiasi Rabi’ul Awal karena mengingat kelahiran Rasul yang agung. Namun, sedikit sekali yang bersedih dan mengingat wasiat-wasiat perpisahan yang telah beliau tuturkan sebelum berpulang.
                Saudaraku, bila dahulu para sahabat berselisih, mereka kembalikan kepada Rasulullah dan masalah pun selesai. Bila mereka kesulitan mereka adukan kepada Rasulullah dan kesulitan pun terpecahkan. Bila ada yang lemah semangatnya dalam beribadah, Rasulullah juga yang menjadi motivatornya. Dahulu Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai penghubung langsung antara Dia -azza wa jalla- dan hamba-Nya. Sekarang, penghubung itu telah tiada. Kita harus berusaha sendiri menghadapi perselisihan yang tak pernah terselesaikan, menghadapi kesulitan yang terus menerus datang. Karena itulah, Rasulullah berwasiat dengan wasiat perpisahan, karena yakin bahwa umatnya kelak akan mengalami kemerosotan.
Saudaraku, mungkin inilah maksud dari sabda Rasulullah tentang musibah kematian beliau. Karena dengan kematian Nabi, terputuslah semua wahyu, manusia bekerja sendiri mencari jalan kebenaran, tidak hakim yang memutuskan lagi, tidak ada motivator yang sangat mumpuni, yang tatkala menasihati tentang surga dan neraka, seakan neraka dan surga hadir di depan mata.  
 “Jika salah satu di antara kalian tertimpa musibah, hendaknya ia membandingkan musibah yang telah ia dapat denganku (kematianku), sesungguhnya itu adalah musibah yang terbesar.[10]
                Saudaraku, mari kita jaga agama ini dengan melaksanakan wasiat Rasulullah di atas. Jangan malah kita tambahi kesedihan akan kematian Rasul dengan berbagai penyelisihan terhadap ajaran yang beliau bawa. Walau kadang langkah terseok tak kuasa menahan beban, namun semoga Allah memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa meniti jalan-Nya hingga menutup mata. Amin.



[1] Tulisan ini banyak mengambil manfaat dari kitab Salwatu al-Ka’ib bi Wafat al-Habib, kar. Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi, ar-Rahiq al-Makhtum, kar. Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, as-Sirah an-Nabawiyah, kar. Dr. Mahdi Rizqullah dan yang lainnya.
[2] Sebagaimana tertera dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 8/158, dari jalan Ibnu Abbas.
[3] Sebagaimana tersebut dalam QS. an-Nashr.
[4] HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi.
[5] Salwatu al-Ka’ib: 5.
[6] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dari jalan Anas bin Malik. (al-Bidayah 8/158)
[7] HR. Ahmad 3/117 dengan sanad yang shahih, sebagaimana dalam as-Sirah an-Nabawiyah, Dr. Mahdi: 657.
[8] HR. Malik dalam al-Muwaththa’: 365.
[9] Hadits ‘Irbadh bin Sariyah.
[10] Hadits shahih. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no: 1106.

Rabu, 25 September 2013

Apa yang Tersembunyi di Balik Gelar Haji?





            Entah mulai kapan masyarakat muslim di Indonesia khususnya (atau bahkan negara Asia Tenggara) sangat menyukai dan memandang tinggi gelar “Haji”. Bahkan untuk menunjukkan status “terhormat” tersebut tak segan-segan mereka menggunakan berbagai macam tanda yang memungkinkan mereka dikenali oleh orang banyak. Peci putih, serban, selalu memakai jubah padahal sebelumnya tidak pernah, sampai-sampai yang putri juga memakai jilbab khusus “Bu Haji” dan yang selainnya.
            Ada yang merasa tidak senang bila ada orang yang memanggilnya dengan menyebut nama saja tanpa menambahkan gelar haji atau hajah di depannya. Demikian pun saat ada seminar sampai kampanye, gelar yang satu ini tak lupa disematkan. Seakan rasanya kurang afdhal bila orang yang sudah pernah pergi ke Makkah berhaji saat pulang tidak disemati dengan gelar ini.
Apalagi dalam dunia dakwah, seakan gelar haji menjadi sebuah kewajiban dari sosok seorang ustadz. Dan di antara pengalaman nyata yang dialami oleh teman penulis, saat beliau mengimami shalat ‘Id dan memberikan khotbah di sebuah kota, narator yang memimpin acara memberitahukan kepada para jamaah bahwa yang akan bertindak sebagai khatib saat itu adalah Haji Fulan (menyebut nama teman saya). Alangkah kagetnya saat teman saya mendengarnya. Karena memang ia belum pernah pergi berhaji. Allahul musta’an........
Sejarah singkat munculnya gelar haji[1]
            Ibadah haji memang mulia. Bahkan bagi wanita, ibadah haji adalah jihad mereka. Kendati demikian, tidak dikenal pada masa para sahabat atau tiga generasi awal yang menggelari diri mereka dengan sebutan Haji Fulan atau Hajah Fulanah.
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid v\ menerangkan[2], “Adapun menjadikan (gelar haji) sebagai gelar keislaman bagi setiap orang yang berhaji, maka hal itu tidaklah dikenal pada kalangan generasi-generasi terbaik. Dan para ulama sudah membahas hukum memanggil orang (muslim) yang sudah berhaji atau seorang kafir dzimmi (yang sudah berziarah ke Baitul Maqdis atau tempat suci mereka) dengan panggilan ‘Haji’.”
Entah mulai semenjak kapan sebutan “Haji” ini mulai dibanggakan di tanah air dan atas sebab apa gelar itu sangat dibanggakan. Namun beberapa sumber sejarah dan tulisan tentangnya menyimpulkan bahwa mungkin saja karena biaya yang tidak sedikit dan perjuangan keras untuk bisa sampai ke Makkah dan kembali dengan selamat menjadikan ibadah ini bernilai sangat “eksklusif” yang akhirnya harus dibanggakan.
Dalam al-Bidayah wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir, penyebutan gelar “Haji Fulan” pertama kali disebut pada tahun 660-an Hijriah, dengan nama “Haji Nashr bin Tarsus”, seorang pedagang yang shalih dan dermawan (662 H). Dan yang termasuk dikenal memiliki gelar ini adalah ayah Imam an-Nawawi, Haji Syaraf bin Mira (685 H).
            Adapun penggunaan gelar ini di Indonesia (nusantara) sudah dipakai semenjak sebelum kedatangan penjajah Eropa. Dan bukanlah orang sembarangan yang dapat memakai gelar ini, hanya keluarga kerajaan yang sudah masuk Islam atau orang yang benar-benar berharta yang dapat menunaikan haji.
Seiring berjalannya waktu, saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan VOC, maka penyematan gelar “Haji” pada nama-nama orang Indonesia di masa penjajahan itu karena didasari siasat politik. Maksudnya, karena rata-rata orang yang pergi berhaji saat itu memiliki semangat berjuang melepaskan diri dari penjajah, maka pihak Belanda mewajibkan penyematan gelar “Haji” pada setiap nama yang pernah berhaji ke Makkah al-Mukarramah. Itu dilakukan supaya memudahkan pengontrolan gerakan-gerakan yang kiranya nanti dilakukan oleh para haji tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Dari sini dapat kita ketahui bahwa bukan kebahagiaan bila harus menyandang gelar “H” di depan namanya saat itu. Namun lebih terkesan seperti DPO. Mengherankan. Sekarang gelar ini dijadikan barang buruan dalam masyarakat muslim sekarang ini. 

Gelar “Haji” rentan riya’ dan ujub
            Saudaraku, perintah utama kita dari Allah untuk kita yang masih hidup di dunia ini adalah mengikhlaskan segala ibadah kita hanya kepada Allah q\ semata. Karena Allah tidak akan pernah menerima ibadah yang tidak murni diperuntukkan kepada-Nya. Untuk menjaga kemurnian ini Rasulullah n\ sudah mengingatkan umatnya agar mewaspadai penyakit yang dapat merusak kemurnian ibadah kita. Penyakit itu bernama riya’. Penyakit ini sangat samar dan bisa masuk dalam semua ibadah. Tak terkecuali dalam ibadah haji. Apalagi berhaji tidak semua orang mampu melaksanakannya dan di zaman dahulu hanya orang-orang yang benar-benar kaya saja yang mampu melaksanakannya. Rasulullah n\ bersabda,
Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Rasulullah menjawab, “Itu adalah riya’. Allah nanti akan berkata pada hari amalan hamba dibalasi, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kamu riya’i dengan amalmu semasa di dunia! Lihatlah, apakah engkau akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!’” (HR. Ahmad: 23686, dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
          Kebolehan memanggil orang yang telah menunaikan ibadah haji memang diperselisihkan oleh para ulama. Karena bagaimanapun juga dari sisi bahasa sebutan “Haji” adalah bagi orang yang melakukan manasik.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’[3] mengatakan, “Boleh memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan Haji setelah ia bertahalul, walaupun setelah selang beberapa tahun, atau bahkan setelah wafatnya. Tidak dibenci dalam hal itu. Adapun riwayat yang dibawakan oleh al-Baihaqi dari al-Qasim bin Abdirrahman dari Ibnu Mas’ud yang berkata, ‘Janganlah kamu mengatakan sesungguhnya saya membujang, karena seorang muslim tidak membujang. Dan janganlah kamu mengatakan saya haji, karena haji adalah untuk orang yang sedang berihram.’ Maka itu (adalah riwayat) yang mauquf dan munqathi’.”
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa masalah ini bermula dari perselisihan ulama ushul fikih, apakah disyaratkan saat kita menjuluki seseorang dengan sebuah gelar tatkala melakukan pekerjaan tersebut? Atau boleh, walaupun sudah berlalu? Maka beliau mengatakan, “Hal itu disyaratkan. Dan itulah madzhab kawan-kawan kami (ulama Syafi’iyyah yang lain). Maka tidak bisa dijuluki ‘Pemukul’ setelah ia tidak melakukan pemukulan, tidak juga bisa disebut sebagai ‘Haji’ setelah ia selesai menjalankan ibadah itu, kecuali secara kiasan.”[4]
Ketika Lajnah Da’imah KSA yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz v\ ditanya tentang kebiasaan seseorang memanggil orang yang telah berhaji dengan sebutan “Sayyid” atau “Haji” menurut hukum syariat, maka komite fatwa  menyatakan (nomor fatwa: 17797), “Dibenci mengucapkan panggilan “Sayyid” atau “Haji” (terhadap orang yang melaksanakan haji) karena terdapat riwayat dari Nabi n\ yang menunjukkan atas dibencinya hal itu.  Dan yang diperintahkan adalah memanggil dengan nama atau kun-yahnya, atau memanggilnya dengan sebutan “saudaraku” jika ia orang muslim. Adapun memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan “Haji” maka lebih baik ditinggalkan, karena melakukan ibadah yang wajib tidak menghasilkan nama atau gelar. Akan tetapi menghasilkan pahala dari Allah q\ bagi orang yang diterima amalnya. Dan setiap muslim wajib untuk tidak menggantungkan dirinya pada hal-hal semacam ini supaya niatnya ikhlas karena Allah.”
            Namun demikian, bila ada seorang juru dakwah yang kurang bisa diterima di dalam sebagian masyarakat yang memandang haji bagi ustadz adalah sebuah kelaziman, maka tidak mengapa menyematkan gelar haji pada namanya kalau dirinya memang benar-benar telah berhaji. Dengan syarat, ia harus tetap memperhatikan kemurnian niat saat berdakwah, karena memang masalah ini adalah masalah yang sangat berat. Wallahu a’lam.

Penutup
            Saudaraku, keikhlasan memanglah berat. Tak segampang mengucapkan katanya. Karena itu, hendaknya kita tidak terlalu husnuzhan (berbaik sangka) terhadap diri kita sendiri. Karena bagaimanapun juga setan telah berpengalaman selama bertahun-tahun menyesatkan manusia melalui celah ujub dan riya’.
Sufyan ats-Tsauri pernah mengatakan, “Aku tidak pernah merasakan kesulitan yang lebih berat dalam memperbaiki sesuatu kecuali pada niatku. Sekali waktu ia akan baik, sekali waktu ia buruk.”[5]




[1] Disarikan dari Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah, Wikipedia, al-Bidayah wan Nihayah, http://dhekkazone.blogspot.com/2012/11/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia.html  dan sumber lain.
[2] Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah hal. 219-220.
[3] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 8/281, Maktabah Syamilah.
[4] Ibid.
[5] Siyar A’lamin Nubala’ 7/258.