Entah mulai kapan masyarakat
muslim di Indonesia khususnya (atau bahkan negara Asia Tenggara) sangat
menyukai dan memandang tinggi gelar “Haji”. Bahkan untuk menunjukkan status
“terhormat” tersebut tak segan-segan mereka menggunakan berbagai macam tanda
yang memungkinkan mereka dikenali oleh orang banyak. Peci putih, serban, selalu
memakai jubah padahal sebelumnya tidak pernah, sampai-sampai yang putri juga
memakai jilbab khusus “Bu Haji” dan yang selainnya.
Ada yang merasa tidak senang bila ada orang yang
memanggilnya dengan menyebut nama saja tanpa menambahkan gelar haji atau hajah di
depannya. Demikian pun saat ada seminar sampai kampanye, gelar yang satu ini tak lupa disematkan.
Seakan rasanya kurang afdhal bila orang yang sudah pernah pergi ke Makkah
berhaji saat pulang tidak disemati dengan gelar ini.
Apalagi
dalam dunia dakwah, seakan gelar haji menjadi sebuah kewajiban dari sosok
seorang ustadz. Dan di antara pengalaman nyata yang dialami oleh teman penulis,
saat beliau mengimami shalat ‘Id dan memberikan khotbah di sebuah kota, narator
yang memimpin acara memberitahukan kepada para jamaah bahwa yang akan bertindak
sebagai khatib saat itu adalah Haji Fulan (menyebut nama teman saya). Alangkah
kagetnya saat teman saya mendengarnya. Karena memang ia belum pernah pergi
berhaji. Allahul musta’an........
Sejarah singkat munculnya gelar
haji[1]
Ibadah haji memang mulia. Bahkan bagi wanita, ibadah haji
adalah jihad mereka. Kendati demikian, tidak dikenal pada masa para sahabat atau
tiga generasi awal yang menggelari diri mereka dengan sebutan Haji Fulan atau
Hajah Fulanah.
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu
Zaid v\ menerangkan[2], “Adapun
menjadikan (gelar haji) sebagai gelar keislaman bagi setiap orang yang berhaji,
maka hal itu tidaklah dikenal pada kalangan generasi-generasi terbaik. Dan para
ulama sudah membahas hukum memanggil orang (muslim) yang sudah berhaji atau
seorang kafir dzimmi (yang sudah berziarah ke Baitul Maqdis atau tempat suci
mereka) dengan panggilan ‘Haji’.”
Entah
mulai semenjak kapan sebutan “Haji” ini mulai dibanggakan di tanah air dan atas
sebab apa gelar itu sangat dibanggakan. Namun beberapa sumber sejarah dan
tulisan tentangnya menyimpulkan bahwa mungkin saja karena biaya yang tidak
sedikit dan perjuangan keras untuk bisa sampai ke Makkah dan kembali dengan
selamat menjadikan ibadah ini bernilai sangat “eksklusif” yang akhirnya harus
dibanggakan.
Dalam al-Bidayah
wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir, penyebutan gelar “Haji Fulan” pertama kali
disebut pada tahun 660-an Hijriah, dengan nama “Haji Nashr bin Tarsus”, seorang
pedagang yang shalih dan dermawan (662 H). Dan yang termasuk dikenal memiliki
gelar ini adalah ayah Imam an-Nawawi, Haji Syaraf bin Mira (685 H).
Adapun penggunaan gelar ini di Indonesia (nusantara)
sudah dipakai semenjak sebelum kedatangan penjajah Eropa. Dan bukanlah orang sembarangan
yang dapat memakai gelar ini, hanya keluarga kerajaan yang sudah masuk Islam
atau orang yang benar-benar berharta yang dapat menunaikan haji.
Seiring
berjalannya waktu, saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan VOC, maka penyematan
gelar “Haji” pada nama-nama orang Indonesia di masa penjajahan itu karena
didasari siasat politik. Maksudnya, karena rata-rata orang yang pergi berhaji
saat itu memiliki semangat berjuang melepaskan diri dari penjajah, maka pihak
Belanda mewajibkan penyematan gelar “Haji” pada setiap nama yang pernah berhaji
ke Makkah al-Mukarramah. Itu dilakukan supaya memudahkan pengontrolan
gerakan-gerakan yang kiranya nanti dilakukan oleh para haji tersebut. Ketentuan
ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa bukan kebahagiaan bila harus menyandang
gelar “H” di depan namanya saat itu. Namun lebih terkesan seperti DPO. Mengherankan.
Sekarang gelar ini dijadikan barang buruan dalam masyarakat muslim sekarang
ini.
Gelar “Haji” rentan riya’ dan
ujub
Saudaraku, perintah utama kita dari Allah untuk kita yang
masih hidup di dunia ini adalah mengikhlaskan segala ibadah kita hanya kepada
Allah q\ semata. Karena Allah tidak akan pernah menerima ibadah yang tidak
murni diperuntukkan kepada-Nya. Untuk menjaga kemurnian ini Rasulullah n\ sudah
mengingatkan umatnya agar mewaspadai penyakit yang dapat merusak kemurnian
ibadah kita. Penyakit itu bernama riya’. Penyakit ini sangat samar dan bisa
masuk dalam semua ibadah. Tak terkecuali dalam ibadah haji. Apalagi berhaji
tidak semua orang mampu melaksanakannya dan di zaman dahulu hanya orang-orang yang benar-benar
kaya saja yang mampu melaksanakannya. Rasulullah n\ bersabda,
“Sesungguhnya
yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Rasulullah menjawab, “Itu
adalah riya’. Allah nanti akan berkata pada hari amalan hamba dibalasi,
‘Pergilah kepada orang-orang yang kamu riya’i dengan amalmu semasa di dunia!
Lihatlah, apakah engkau akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!’”
(HR. Ahmad: 23686, dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
Kebolehan
memanggil orang yang telah menunaikan ibadah haji memang diperselisihkan oleh
para ulama. Karena bagaimanapun juga dari sisi bahasa sebutan “Haji” adalah
bagi orang yang melakukan manasik.
Imam
an-Nawawi dalam al-Majmu’[3]
mengatakan, “Boleh memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan Haji
setelah ia bertahalul, walaupun setelah selang beberapa tahun, atau bahkan
setelah wafatnya. Tidak dibenci dalam hal itu. Adapun riwayat yang dibawakan
oleh al-Baihaqi dari al-Qasim bin Abdirrahman dari Ibnu Mas’ud yang berkata, ‘Janganlah
kamu mengatakan sesungguhnya saya membujang, karena seorang muslim tidak
membujang. Dan janganlah kamu mengatakan saya haji, karena haji adalah untuk
orang yang sedang berihram.’ Maka itu (adalah riwayat) yang mauquf
dan munqathi’.”
Imam
an-Nawawi menjelaskan bahwa masalah ini bermula dari perselisihan ulama ushul
fikih, apakah disyaratkan saat kita menjuluki seseorang dengan sebuah gelar tatkala
melakukan pekerjaan tersebut? Atau boleh, walaupun sudah berlalu? Maka beliau
mengatakan, “Hal itu disyaratkan. Dan itulah madzhab kawan-kawan kami (ulama
Syafi’iyyah yang lain). Maka tidak bisa dijuluki ‘Pemukul’ setelah ia tidak
melakukan pemukulan, tidak juga bisa disebut sebagai ‘Haji’ setelah ia selesai
menjalankan ibadah itu, kecuali secara kiasan.”[4]
Ketika Lajnah Da’imah KSA yang
dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz v\ ditanya tentang kebiasaan seseorang memanggil
orang yang telah berhaji dengan sebutan “Sayyid” atau “Haji” menurut hukum syariat,
maka komite fatwa menyatakan (nomor
fatwa: 17797), “Dibenci mengucapkan panggilan “Sayyid” atau “Haji” (terhadap
orang yang melaksanakan haji) karena terdapat riwayat dari Nabi n\ yang
menunjukkan atas dibencinya hal itu. Dan
yang diperintahkan adalah memanggil dengan nama atau kun-yahnya, atau
memanggilnya dengan sebutan “saudaraku” jika ia orang muslim. Adapun memanggil
orang yang sudah berhaji dengan sebutan “Haji” maka lebih baik ditinggalkan,
karena melakukan ibadah yang wajib tidak menghasilkan nama atau gelar. Akan
tetapi menghasilkan pahala dari Allah q\ bagi orang yang diterima amalnya. Dan
setiap muslim wajib untuk tidak menggantungkan dirinya pada hal-hal semacam ini
supaya niatnya ikhlas karena Allah.”
Namun
demikian, bila ada seorang juru dakwah yang kurang bisa diterima di dalam sebagian
masyarakat yang memandang haji bagi ustadz adalah sebuah kelaziman, maka tidak
mengapa menyematkan gelar haji pada namanya kalau dirinya memang benar-benar
telah berhaji. Dengan syarat, ia harus tetap memperhatikan kemurnian niat saat
berdakwah, karena memang masalah ini adalah masalah yang sangat berat. Wallahu
a’lam.
Penutup
Saudaraku,
keikhlasan memanglah berat. Tak segampang mengucapkan katanya. Karena itu,
hendaknya kita tidak terlalu husnuzhan (berbaik sangka) terhadap diri
kita sendiri. Karena bagaimanapun juga setan telah berpengalaman selama
bertahun-tahun menyesatkan manusia melalui celah ujub dan riya’.
Sufyan ats-Tsauri pernah
mengatakan, “Aku tidak pernah merasakan kesulitan yang lebih berat dalam
memperbaiki sesuatu kecuali pada niatku. Sekali waktu ia akan baik, sekali
waktu ia buruk.”[5]
[1] Disarikan dari Mu’jam
al-Manahi al-Lafzhiyyah, Wikipedia, al-Bidayah wan Nihayah, http://dhekkazone.blogspot.com/2012/11/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia.html dan sumber
lain.