Rabu, 25 September 2013

Apa yang Tersembunyi di Balik Gelar Haji?





            Entah mulai kapan masyarakat muslim di Indonesia khususnya (atau bahkan negara Asia Tenggara) sangat menyukai dan memandang tinggi gelar “Haji”. Bahkan untuk menunjukkan status “terhormat” tersebut tak segan-segan mereka menggunakan berbagai macam tanda yang memungkinkan mereka dikenali oleh orang banyak. Peci putih, serban, selalu memakai jubah padahal sebelumnya tidak pernah, sampai-sampai yang putri juga memakai jilbab khusus “Bu Haji” dan yang selainnya.
            Ada yang merasa tidak senang bila ada orang yang memanggilnya dengan menyebut nama saja tanpa menambahkan gelar haji atau hajah di depannya. Demikian pun saat ada seminar sampai kampanye, gelar yang satu ini tak lupa disematkan. Seakan rasanya kurang afdhal bila orang yang sudah pernah pergi ke Makkah berhaji saat pulang tidak disemati dengan gelar ini.
Apalagi dalam dunia dakwah, seakan gelar haji menjadi sebuah kewajiban dari sosok seorang ustadz. Dan di antara pengalaman nyata yang dialami oleh teman penulis, saat beliau mengimami shalat ‘Id dan memberikan khotbah di sebuah kota, narator yang memimpin acara memberitahukan kepada para jamaah bahwa yang akan bertindak sebagai khatib saat itu adalah Haji Fulan (menyebut nama teman saya). Alangkah kagetnya saat teman saya mendengarnya. Karena memang ia belum pernah pergi berhaji. Allahul musta’an........
Sejarah singkat munculnya gelar haji[1]
            Ibadah haji memang mulia. Bahkan bagi wanita, ibadah haji adalah jihad mereka. Kendati demikian, tidak dikenal pada masa para sahabat atau tiga generasi awal yang menggelari diri mereka dengan sebutan Haji Fulan atau Hajah Fulanah.
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid v\ menerangkan[2], “Adapun menjadikan (gelar haji) sebagai gelar keislaman bagi setiap orang yang berhaji, maka hal itu tidaklah dikenal pada kalangan generasi-generasi terbaik. Dan para ulama sudah membahas hukum memanggil orang (muslim) yang sudah berhaji atau seorang kafir dzimmi (yang sudah berziarah ke Baitul Maqdis atau tempat suci mereka) dengan panggilan ‘Haji’.”
Entah mulai semenjak kapan sebutan “Haji” ini mulai dibanggakan di tanah air dan atas sebab apa gelar itu sangat dibanggakan. Namun beberapa sumber sejarah dan tulisan tentangnya menyimpulkan bahwa mungkin saja karena biaya yang tidak sedikit dan perjuangan keras untuk bisa sampai ke Makkah dan kembali dengan selamat menjadikan ibadah ini bernilai sangat “eksklusif” yang akhirnya harus dibanggakan.
Dalam al-Bidayah wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir, penyebutan gelar “Haji Fulan” pertama kali disebut pada tahun 660-an Hijriah, dengan nama “Haji Nashr bin Tarsus”, seorang pedagang yang shalih dan dermawan (662 H). Dan yang termasuk dikenal memiliki gelar ini adalah ayah Imam an-Nawawi, Haji Syaraf bin Mira (685 H).
            Adapun penggunaan gelar ini di Indonesia (nusantara) sudah dipakai semenjak sebelum kedatangan penjajah Eropa. Dan bukanlah orang sembarangan yang dapat memakai gelar ini, hanya keluarga kerajaan yang sudah masuk Islam atau orang yang benar-benar berharta yang dapat menunaikan haji.
Seiring berjalannya waktu, saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan VOC, maka penyematan gelar “Haji” pada nama-nama orang Indonesia di masa penjajahan itu karena didasari siasat politik. Maksudnya, karena rata-rata orang yang pergi berhaji saat itu memiliki semangat berjuang melepaskan diri dari penjajah, maka pihak Belanda mewajibkan penyematan gelar “Haji” pada setiap nama yang pernah berhaji ke Makkah al-Mukarramah. Itu dilakukan supaya memudahkan pengontrolan gerakan-gerakan yang kiranya nanti dilakukan oleh para haji tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Dari sini dapat kita ketahui bahwa bukan kebahagiaan bila harus menyandang gelar “H” di depan namanya saat itu. Namun lebih terkesan seperti DPO. Mengherankan. Sekarang gelar ini dijadikan barang buruan dalam masyarakat muslim sekarang ini. 

Gelar “Haji” rentan riya’ dan ujub
            Saudaraku, perintah utama kita dari Allah untuk kita yang masih hidup di dunia ini adalah mengikhlaskan segala ibadah kita hanya kepada Allah q\ semata. Karena Allah tidak akan pernah menerima ibadah yang tidak murni diperuntukkan kepada-Nya. Untuk menjaga kemurnian ini Rasulullah n\ sudah mengingatkan umatnya agar mewaspadai penyakit yang dapat merusak kemurnian ibadah kita. Penyakit itu bernama riya’. Penyakit ini sangat samar dan bisa masuk dalam semua ibadah. Tak terkecuali dalam ibadah haji. Apalagi berhaji tidak semua orang mampu melaksanakannya dan di zaman dahulu hanya orang-orang yang benar-benar kaya saja yang mampu melaksanakannya. Rasulullah n\ bersabda,
Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Rasulullah menjawab, “Itu adalah riya’. Allah nanti akan berkata pada hari amalan hamba dibalasi, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kamu riya’i dengan amalmu semasa di dunia! Lihatlah, apakah engkau akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!’” (HR. Ahmad: 23686, dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
          Kebolehan memanggil orang yang telah menunaikan ibadah haji memang diperselisihkan oleh para ulama. Karena bagaimanapun juga dari sisi bahasa sebutan “Haji” adalah bagi orang yang melakukan manasik.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’[3] mengatakan, “Boleh memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan Haji setelah ia bertahalul, walaupun setelah selang beberapa tahun, atau bahkan setelah wafatnya. Tidak dibenci dalam hal itu. Adapun riwayat yang dibawakan oleh al-Baihaqi dari al-Qasim bin Abdirrahman dari Ibnu Mas’ud yang berkata, ‘Janganlah kamu mengatakan sesungguhnya saya membujang, karena seorang muslim tidak membujang. Dan janganlah kamu mengatakan saya haji, karena haji adalah untuk orang yang sedang berihram.’ Maka itu (adalah riwayat) yang mauquf dan munqathi’.”
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa masalah ini bermula dari perselisihan ulama ushul fikih, apakah disyaratkan saat kita menjuluki seseorang dengan sebuah gelar tatkala melakukan pekerjaan tersebut? Atau boleh, walaupun sudah berlalu? Maka beliau mengatakan, “Hal itu disyaratkan. Dan itulah madzhab kawan-kawan kami (ulama Syafi’iyyah yang lain). Maka tidak bisa dijuluki ‘Pemukul’ setelah ia tidak melakukan pemukulan, tidak juga bisa disebut sebagai ‘Haji’ setelah ia selesai menjalankan ibadah itu, kecuali secara kiasan.”[4]
Ketika Lajnah Da’imah KSA yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz v\ ditanya tentang kebiasaan seseorang memanggil orang yang telah berhaji dengan sebutan “Sayyid” atau “Haji” menurut hukum syariat, maka komite fatwa  menyatakan (nomor fatwa: 17797), “Dibenci mengucapkan panggilan “Sayyid” atau “Haji” (terhadap orang yang melaksanakan haji) karena terdapat riwayat dari Nabi n\ yang menunjukkan atas dibencinya hal itu.  Dan yang diperintahkan adalah memanggil dengan nama atau kun-yahnya, atau memanggilnya dengan sebutan “saudaraku” jika ia orang muslim. Adapun memanggil orang yang sudah berhaji dengan sebutan “Haji” maka lebih baik ditinggalkan, karena melakukan ibadah yang wajib tidak menghasilkan nama atau gelar. Akan tetapi menghasilkan pahala dari Allah q\ bagi orang yang diterima amalnya. Dan setiap muslim wajib untuk tidak menggantungkan dirinya pada hal-hal semacam ini supaya niatnya ikhlas karena Allah.”
            Namun demikian, bila ada seorang juru dakwah yang kurang bisa diterima di dalam sebagian masyarakat yang memandang haji bagi ustadz adalah sebuah kelaziman, maka tidak mengapa menyematkan gelar haji pada namanya kalau dirinya memang benar-benar telah berhaji. Dengan syarat, ia harus tetap memperhatikan kemurnian niat saat berdakwah, karena memang masalah ini adalah masalah yang sangat berat. Wallahu a’lam.

Penutup
            Saudaraku, keikhlasan memanglah berat. Tak segampang mengucapkan katanya. Karena itu, hendaknya kita tidak terlalu husnuzhan (berbaik sangka) terhadap diri kita sendiri. Karena bagaimanapun juga setan telah berpengalaman selama bertahun-tahun menyesatkan manusia melalui celah ujub dan riya’.
Sufyan ats-Tsauri pernah mengatakan, “Aku tidak pernah merasakan kesulitan yang lebih berat dalam memperbaiki sesuatu kecuali pada niatku. Sekali waktu ia akan baik, sekali waktu ia buruk.”[5]




[1] Disarikan dari Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah, Wikipedia, al-Bidayah wan Nihayah, http://dhekkazone.blogspot.com/2012/11/asal-usul-gelar-haji-di-indonesia.html  dan sumber lain.
[2] Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah hal. 219-220.
[3] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 8/281, Maktabah Syamilah.
[4] Ibid.
[5] Siyar A’lamin Nubala’ 7/258.